Blasting Tambang Batubara Tanpa Jejak Nitrat: Pergeseran ke HPE, Desain Presisi, dan Kontrol Air Tanah
Ammonium nitrate masih mendominasi bahan peledak tambang—dan meninggalkan jejak nitrat di air tanah. Kini, hydrogen-peroxide emulsion (HPE), desain ledakan yang rapi, serta monitoring–remediasi ketat menawarkan jalan keluar yang konkret.
Industri: Coal_Mining | Proses: Extraction
Selama puluhan tahun, blasting di tambang mengandalkan bahan peledak berbasis ammonium nitrate (AN)—ANFO (ammonium nitrate fuel oil), emulsi (ANE), dan gel—yang umumnya mengandung ~90% nitrat per berat. Volume globalnya pun masif: sekitar 17–20 juta ton per tahun, dengan permintaan 2023 ~17 Mt. Angka-angka ini berarti beban nitrogen yang luar biasa besar per sekali ledak, sekaligus risiko emisi NOx dan polusi nitrat yang tak kecil (ResearchGate; Nouryon; Mining Technology; BME).
Detonasi yang tidak sempurna memperparah masalah. Studi memperkirakan hingga ~6% ANFO slurry bisa tertinggal tidak terdetonasi di bawah tanah—residu ini, bersama nitrit dan amonia hasil reaksi parsial, kemudian terlarut dan mendorong nitrat air tanah menembus ambang aman (ResearchGate).
Beban nitrat dari bahan peledak konvensional
Fakta dasarnya keras: AN-based explosives (ANE/ANFO/gel) menanamkan “ribuan kilogram” NO3− setiap kali sesi blasting, dengan potensi emisi NOx dan residu amonia yang meluas. Dengan pemakaian sekitar 20 Mt AN explosives per tahun, skala risiko menjadi global (Mining Technology; BME).
Ketika detonasi tidak tuntas—dipicu, misalnya, oleh desain lubang yang kurang tepat atau kondisi basah—ammonium nitrate gagal terdekomposisi penuh dan menghasilkan gas berbahaya serta residu nitrat yang siap terlarut (ResearchGate).
Formulasi rendah nitrat: hydrogen-peroxide emulsion (HPE)
Alternatif yang kini menonjol adalah hydrogen-peroxide emulsion (HPE)—oksidator ammonium nitrat diganti dengan hydrogen peroxide sehingga pada dasarnya tidak meninggalkan nitrat maupun amonia pascaledak. Uji lapangan dan laporan industri menunjukkan performanya setara ANE (fragmentasi, displacement/mucking) dengan NOx/nitrat residu yang minimal (Mining Technology; BME; Nouryon).
Dari sisi jejak karbon, gapnya mencolok: produksi HPE melepaskan kira-kira 0,23 kg CO₂ per kg emulsi, dibanding ~2,3 kg CO₂ untuk ANE—pengurangan jejak ~90% (Mining Technology; BME). Di lapangan, tambang Kankberg milik Boliden bermitra dengan Hypex/BME untuk uji HPE: targetnya “tidak ada nitrat” masuk ke air tambang sehingga kebutuhan pengolahan nitrogen turun signifikan. Estimasi dampaknya: ~400 ton CO₂/tahun lebih rendah di level site dan “significantly decrease the necessity for nitrogen water treatment” (Mining Technology; BME).
Pemasok kimia eksplosif Nouryon menegaskan benefit HPE: penghematan CO₂ >90%, “zero ammonia”, dan “minimal NOx and nitrate” dari blasting HPE (Nouryon).
Optimasi desain ledakan dan inisiasi
Bahkan saat memakai bahan peledak konvensional, desain ledakan yang presisi memperkecil pelepasan polutan. Parameter kunci: diameter/kedalaman lubang, distribusi charge, stemming (material penutup/pengunci), dan timing. Praktik yang buruk—lubang oversize, stemming kurang, kondisi basah—membuat ammonium nitrat gagal terdekomposisi sempurna sehingga memunculkan NOx berlebih serta nitrat tak bereaksi (ResearchGate).
Best practice umumnya menetapkan stemming memadai (sekitar ~25–50% dari kedalaman lubang) dan charge yang lebih kecil namun terkekang baik. Studi kasus quarry memperlihatkan revisi desain—beralih ke kartrid 80 mm, lalu lubang 105–115 mm dengan ~2 m gravel/foam sebagai stemming—serta mengatasi air yang masuk ke lubang dengan mengganti ANFO (sensitif air) menjadi water-gel yang resisten washout (MDPI).
Penundaan inisiasi (delay) yang presisi—idealnya via sistem digital—membuat gelombang tekanan saling “interfere” secara konstruktif pada massa batuan, bukan menguap keluar. Pola multi-baris dengan burden dan spacing tepat menekan fly-rock/overbreak yang berpotensi melempar bahan peledak tak bereaksi. Peningkatan desain dan sequencing jangka panjang bahkan dilaporkan menurunkan pemakaian bahan peledak 26% dan CO₂ per ton sebesar 18% (MDPI; ResearchGate).
Peralatan juga menentukan: detonator/booster yang andal menekan risiko misfire; sistem listrik atau shock-tube di bawah kontrol (alih-alih safety fuse lama) lebih disukai. Pascablast, penggunaan air-decking berkecepatan tinggi atau venting terkontrol dapat menangkap asap/gas, alih-alih lepas ke air/udara. Studi pemodelan mencatat penambahan inhibitor/katalis dalam charge bisa menekan byproduct NOx/NH₃ hingga 62–85%—namun masih tahap eksperimental (NCBI).
Jaringan monitoring nitrat air tanah
Terlepas dari best practice, sebagian nitrat bisa tetap lolos ke air. Karena itu, program monitoring menyeluruh wajib ada: sumur pantau dan piezometer di sekitar area blasting serta di hilir (downgradient) waste rock/tailings untuk memantau muka air tanah dan pengambilan sampel nitrogen (NO₃–N, NO₂–N, NH₄–N) secara berkala—misalnya triwulanan, dan pasca ledakan besar atau hujan lebat. Metode lapangan mencakup probe in-situ atau spektrofotometer portabel, dengan konfirmasi laboratorium via ion chromatography atau analisis kolorimetrik (Geologi ESDM).
Data kasus menegaskan urgensinya: di sebuah tambang bawah tanah, sumur pantau mingguan mencatat nitrat ~7 hingga 1054 mg/L pada air tambang setelah blasting; nitrit hingga ~50 mg/L; amonium sampai 145 mg/L—jauh di atas batas kesehatan umum (ResearchGate). Baseline sampling sebelum aktivitas memberi acuan, sedangkan uji di sumur domestik dan air permukaan di sekitar site membantu mendeteksi dampak off‑site.
Analisis isotop (δ¹⁵N dan δ¹⁸O pada NO₃⁻) dapat membedakan sumber nitrat—eksplosif sintetis versus pertanian/limbah—dan telah berhasil menelusuri plume nitrat dari lokasi blasting di New Hampshire, AS (ResearchGate). Sejalan dengan standar Indonesia, ambang nitrat (sebagai NO₃) untuk air minum adalah 50 mg/L (Permenkes 492/2010); WHO membimbing 10 mg/L (sebagai N) atau 45 mg/L (sebagai NO₃) (MDPI). Seismograph/vibration monitor serta gas detector membantu memverifikasi blast tetap terkekang; peningkatan fines (butiran halus) di air usai blast adalah alarm awal. Logger otomatis dan pemetaan GIS memperlihatkan tren naik sejak dini (MDPI).
Manajemen dan remediasi kontaminasi
Ketika angka nitrat bermasalah, tanggapan dimulai dari isolasi sumber. Praktik terbaik mengalirkan runoff dan dewatering ke kolam/tailings storage berlapis (lined), bukan dibiarkan meresap melewati batas site. Pada satu studi, air tambang tidak pernah dibuang ke luar area, melainkan ke TSF on‑site (ResearchGate).
Untuk air tanah yang sudah tercemar, ada beberapa opsi remediasi. Denitrifikasi biologis—mengalirkan air kaya nitrat ke bioreaktor atau wetland terbangun—mendorong bakteri denitrifier mengubah NO₃⁻ menjadi N₂ yang tidak berbahaya; pendekatan ini dinilai “durable, sustainable, dan cost‑effective” dibanding fisik/kimia yang mahal (MDPI). Bioreaktor berisi wood‑chip yang sederhana dipakai luas; dengan carbon dosing dan waktu tinggal yang tepat, removal nitrat >90% kerap tercapai, terlebih bila diinokulasi konsorsium denitrifier seperti Paracoccus dan Pseudomonas (MDPI; MDPI). Pada praktik ini, penambahan karbon yang presisi dapat dibantu oleh unit dosing pump untuk stabilitas proses.
Pilihan lain adalah filtrasi ion‑exchange—resin anionik selektif terhadap NO₃⁻. Sistem ion-exchange untuk aliran proses dapat dipasangkan dengan resin anion-exchange berkapasitas tinggi, dan kerap dikombinasikan dengan reverse osmosis (RO). Untuk kualitas olahan yang lebih ketat, konfigurasi RO air payau dapat menurunkan nitrat ke rentang mg/L rendah, dengan pretreatment membran seperti ultrafiltration guna menjaga stabilitas membran.
Adsorpsi—misalnya dengan media karbon aktif—juga dipakai untuk polishing effluent, terutama saat targetnya konsentrasi residual yang sangat rendah; pemilihan media dapat diintegrasikan dengan sistem activated carbon. Ada pula pendekatan denitrifikasi alkalin atau reduksi kimia, namun jarang dipakai di konteks pertambangan (MDPI).
Rencana pengolahan harus didesain untuk worst‑case influent dan target regulasi. Standar Indonesia mensyaratkan NO₃⁻ ≤ 50 mg/L pada air minum (Permenkes 492/2010), sementara banyak ekosistem sensitif mendorong target lebih ketat (<10–20 mg/L). Monitoring kontinu selama operasi pengolahan memberi verifikasi capaian. Jika lonjakan nitrat berulang, evaluasi ulang praktik blasting (kualitas charge, kontrol air, dsb.) dan tingkatkan adopsi teknologi low‑N seperti HPE. Keterlibatan komunitas—melalui liaison/kanal aduan—membantu deteksi dini penurunan kualitas air sumur warga (ResearchGate).
Data tren jangka panjang harus menuntun keputusan bisnis. Bila peralihan ke HPE terbukti memangkas biaya pengolahan (karena nitrat dieliminasi di sumber), investasi awal menjadi logis. Studi kasus Boliden dengan ~400 t/tahun CO₂ yang dihindari dan berkurangnya beban pengolahan nitrogen memperlihatkan nilai jangka panjang serta menekan risiko sanksi atau penghentian operasi akibat pelanggaran mutu air (Mining Technology).
Ringkas: kombinasi teknologi, desain, dan disiplin data
Kombinasi emulsi bebas nitrat dan desain blasting cerdas secara efektif memangkas beban nitrat per ledakan (Mining Technology; Mining Technology). Dipadukan dengan monitoring ketat untuk menangkap kebocoran sedini mungkin serta strategi pengolahan bagi yang lolos, operator dapat menjaga kualitas akuifer sesuai aturan Indonesia—dan menekan biaya hilir.
Sumber: Kompilasi studi dan laporan industri (Mining Technology, Environmental Science & Technology, mining news, MDPI, Permenkes) tentang komposisi bahan peledak, pembentukan nitrat, optimasi blasting, dan teknik remediasi (Nouryon; ResearchGate; Mining Technology; ResearchGate; ResearchGate; MDPI; MDPI; ResearchGate; MDPI).
