Dengan konsumsi air global 90–100 juta m³ per hari, skala kerak dari Ca²⁺/Mg²⁺ adalah musuh abadi pabrik pulp & paper. Inilah cara softener ion‑exchange dikalkulasi, dioperasikan, dan dibandingkan dengan program chemical scale inhibitor.
Industri: Pulp_and_Paper | Proses: Raw_Water_Intake_&_Treatment
Pulp & paper adalah industri super-boros air: secara global, konsumsi hariannya berada di kisaran 90–100 juta m³ untuk pemrosesan seperti wood preparation, pulping, bleaching, hingga paper forming (lihat ResourceWise). Di kawasan Asia-Pasifik, pabrik menyumbang hampir separuh permintaan ini (ResourceWise).
Volume sebesar ini membuat scaling (pembentukan kerak) menjadi masalah laten: ion kekerasan Ca²⁺ dan Mg²⁺ dalam air baku mengendap sebagai kalsium karbonat, fosfat, atau oksalat di heat exchanger, boiler, pipa, dan paper‑machine showers. Dampaknya nyata: shutdown pembersihan lebih sering, penyumbatan screen/peralatan, konsumsi bahan kimia lebih tinggi, dan kehilangan energi (WaterTechOnline). Skala pada disc filter atau shower line, misalnya, kerap memaksa pembersihan tiap beberapa bulan (WaterTechOnline).
Solusi konservatif yang paling andal? Menghilangkan Ca/Mg di depan—bukan sekadar “menahan”—dengan sistem softener ion‑exchange yang disizing dan diregenerasi dengan benar agar pasokan soft water konsisten.
Prinsip kerja softener ion‑exchange konvensional
Softener konvensional adalah sistem ion exchange (pertukaran ion) tipe fixed‑bed yang mengganti kation keras dengan natrium (Na⁺) pada resin. Resin yang digunakan umumnya strong‑acid cation/SAC (resin kation kuat; polistirena‑divinilbenzena tersulfonasi) dalam bentuk natrium (Veolia Water Technologies). Air baku dialirkan ke bawah melewati bed; Ca²⁺/Mg²⁺ terikat di situs resin dan jumlah ekuivalen Na⁺ dilepaskan ke air. Reaksi contoh:
Ca(HCO₃)₂ + 2 Na–R → Ca–R₂ + 2 NaHCO₃
MgCl₂ + 2 Na–R → Mg–R₂ + 2 NaCl
(R–Na menandakan butiran resin dengan Na⁺ bergerak). Keluaran “soft” mengandung Ca²⁺/Mg²⁺ sangat rendah—idealnya ≪1 mg/L hardness—sehingga potensi kerak turun drastis (Veolia Water Technologies). Softening tidak banyak mengubah pH maupun alkalinitas, tetapi menaikkan TDS (total dissolved solids) karena mengganti ion bervalensi dua dengan monovalen natrium (MECC).
Dalam mode service, effluent hardness mendekati nol hingga mendekati titik “breakthrough”. Figur 8‑5 pada handbook Veolia (tidak ditampilkan) menunjukkan bahwa setelah resin jenuh, hardness “increases sharply” dan regenerasi diperlukan (Veolia Water Technologies).
Regenerasi dilakukan dengan brine (air garam) pekat ≈10–15% NaCl yang dialirkan ke atas (upflow) melewati bed untuk mendesorpsi Ca²⁺/Mg²⁺ dan mengembalikan Na⁺ pada resin: Ca–R₂ + 2 NaCl → 2 Na–R + CaCl₂ (Veolia Water Technologies). Umumnya diaplikasikan sekitar tiga kali jumlah stoikiometri Na⁺; karenanya diperlukan kelebihan garam besar (~6–12 lb NaCl per ft³ resin) (Veolia Water Technologies; SystematixUSA). Tahap flush dan rinse membuang brine bekas beserta CaCl₂/MgCl₂.
Secara peralatan, sistem memuat vessel resin bertekanan vertikal, distributor atas, resin bed, underdrain; plus brine tank, perpipaan, dan control valve untuk sekuens backwash, brine, dan rinse (Veolia Water Technologies; Veolia Water Technologies). Urutannya: backwash (mengangkat bed dan menyingkirkan padatan tersuspensi), lalu soak dan rinse dengan brine yang meregenerasi situs exchange (sistem ion exchange). Softener modern umumnya berkontrol terprogram dan bisa beralih otomatis lead/standby untuk output soft tanpa interupsi.
Catatan resin: penggunaan resin SAC yang tepat krusial—tersedia sebagai ion-exchange resin untuk aplikasi industri.
baca juga: Media Filtrasi : Sand Filter, Carbon Filter dan Iron Filter
Penentuan kapasitas dan strategi regenerasi
Kapabilitas softener biasanya dinyatakan sebagai kapasitas penghilangan hardness (sebagai CaCO₃) per volume resin, satuannya “grains” per ft³ (grains: satuan massa; gpg/grains per gallon: satuan kekerasan air). Resin SAC tipikal memiliki kapasitas ~20.000–30.000 grains/ft³ saat diregenerasi penuh (Veolia Water Technologies; SystematixUSA). Contoh dari Veolia: ~10 lb NaCl per ft³ memberikan kira‑kira 24.000 grains/ft³ kapasitas (Veolia Water Technologies).
Secara praktis, 1 ft³ resin dapat mengolah sekitar 2.000–3.000 gal (7.600–11.400 L) air 10–12 gpg (≈170–200 mg/L hardness) sebelum regenerasi (SystematixUSA). Perhitungan dimulai dari beban hardness total (debit × hardness). Contoh: line 25 gpm (≈5,7 m³/jam) pada 200 mg/L CaCO₃ (≈12 gpg) membawa ≈18.000 grains per jam. Untuk operasi 8 jam tanpa regenerasi dibutuhkan ≈144.000 grains. Dengan kapasitas resin ~22.000 grains/ft³, diperlukan ≈6,5 ft³ (~0,18 m³) resin untuk menutup beban ini (SystematixUSA).
Di lapangan, unit kerap disizing untuk target run length—mis. 6–10 jam—dengan kontrol meter‑based/PLC yang memicu regenerasi sebelum breakthrough. Desain sebaiknya memberi margin; oversizing atau memparalel beberapa vessel membantu mencegah kebocoran hard water saat siklus. Pada level program, panduan umum: interval regenerasi tidak lebih sering dari 3–4 hari dan tidak lebih jarang dari ~1–2 minggu (catatan: ini acuan sistem domestik; praktik industri berskala serupa) (Watts). Tipikal dosis garam per regenerasi: 6–10 lb (2,7–4,5 kg) NaCl per ft³ resin untuk capaian ~20–25 kgrains/ft³; Watts mencatat 6–8 lb/ft³ memberi sekitar 24.000 grains (Veolia Water Technologies; Watts). Ilustrasi: bed 1 ft³ (~28 L) dengan 8 lb garam akan menghilangkan ~21.000 grains (≈1,2 kg CaCO₃) (SystematixUSA). Unit industri bisa memuat puluhan ft³ resin—artinya ratusan kilogram garam per siklus.
Regenerasi juga butuh air: backwash + rinse umumnya 5–10 kali volume bed. Untuk 1 ft³ resin, total sekitar 50 gal (~190 L; ≈7× volume bed) (SystematixUSA). Air ini (mengandung brine dan hardness terbuang) dibuang, meski di pabrik besar sebagian bisa dikembalikan ke clarifier/proses jika layak.
Agar operasi terus‑menerus, pabrik lazim memasang minimal dua vessel paralel. Satu melayani soft water saat yang lain regenerasi; lalu berganti. Pengaturan alternating otomatis—ditambah online hardness monitor atau timer/meter—mencegah kebocoran hardness. Di jaringan distribusi besar, point‑of‑entry softener bisa melayani multi‑sirkuit (boiler feed, shower water) dengan train paralel sesuai debit. Ringkasnya, sizing dan penjadwalan regenerasi yang tepat adalah kunci kesinambungan pasokan soft water; sasaran desain yang sering digunakan adalah 5–7 hari service per siklus dengan kontrol yang memicu regenerasi hanya saat kapasitas benar‑benar habis, meminimalkan penggunaan garam sambil menjaga kualitas (Watts; SystematixUSA).
Baca juga: Pengolahan Limbah Secara Kimia
Softening vs program inhibitor kerak kimia
Softening berbasis ion‑exchange softener menghasilkan air sangat konsisten dengan hardness sangat rendah—sering kali di bawah batas deteksi (sering <1 mg/L sebagai CaCO₃) (Veolia Water Technologies). Konsekuensinya adalah biaya operasi: konsumsi garam (puluhan ton per bulan di pabrik besar) dan pembuangan brine (saline wastewater) tak terelakkan. Konsumsi garam bisa berada pada orde puluhan kilogram per meter kubik air yang dilunakkan (tergantung hardness). Contoh, pabrik yang mengolah 1.000 m³/hari pada 200 mg/L hardness (≈6 moles CaCO₃) membutuhkan kira‑kira 600–1.200 kg garam per hari (menggunakan patokan ~6–12 kg garam per m³).
Bandingkan dengan program chemical scale inhibitor: fosfat natrium, fosfonat, dan dispersant polimerik mengganggu pembentukan kerak—fosfat/fosfonat mensekuestrasi Ca/Mg atau mengendapkannya sebagai sludge amorf; polimer mendispersikan partikel. Program seperti ini populer untuk cooling tower dan boiler tekanan moderat karena cukup memakai dosing skid (capex lebih rendah). Namun ada batasnya. ChemTreat mencatat program fosfat secara efektif memprecipitasi hardness sebagai kalsium fosfat (hydroxyapatite) dan serpentinite yang lalu harus dikeluarkan via blowdown/blow‑off (ChemTreat). Bahkan dengan feeding fosfat yang baik, endapan tetap terbentuk di permukaan tube dan harus sering dipurga. Perlakuan polimer‑saja umumnya hanya layak untuk boiler bertekanan rendah–menengah karena isu stabilitas dan residual (ChemTreat).
Standar industri menuntut hardness umpan super‑rendah. ASME untuk boiler bertekanan tinggi pada praktiknya membatasi hardness ke level sub‑ppm (≪0,1 mg/L CaCO₃). ChemTreat secara eksplisit memperingatkan bahwa jika hardness umpan melebihi ~1,0 ppm, program fosfat saja tidak memadai (ChemTreat). Artinya, hardness signifikan (>0,5–1 mg/L) di boiler feed biasanya diatasi dengan softening, bukan hanya kimia; dalam praktik, softener sering dipasang di hulu injeksi chemical.
Dari sisi operasional, inhibitor bisa lebih murah dipasang tetapi butuh make‑up bahan kimia kontinu dan berisiko gagal jika dosing terganggu (dosing pump menjadi peralatan kunci). Sementara itu, scale inhibitor mampu mengendalikan kerak pada kondisi tertentu, tetapi hasil di dunia nyata mencerminkan trade‑off: pabrik yang memakai full softening dilaporkan rutin mendapatkan run boiler lebih panjang, frekuensi sootblowing lebih rendah, dan downtime pembersihan sampai separuh dibanding mengandalkan inhibitor saja (studi kasus industri banyak mengutip manfaat ini secara kualitatif). Sebaliknya, inhibitor sering cukup untuk cooling circuit atau boiler tekanan rendah—ketika konsekuensi deposit kecil masih tertoleransi. Program fosfat/polimer juga menambah beban fosfor ke efluen, sedangkan softener hanya mengganti Ca/Mg dengan Na (tanpa dampak fosfor).
Untuk pabrik pulp—sering dengan sistem uap bertekanan sangat tinggi dan biaya downtime yang ketat—pendekatan konservatif adalah menggunakan softener untuk makeup water ke unit kritis, dan booster kimia seperlunya. ChemTreat juga menggarisbawahi batasan dosing (“Unfortunately, it is not possible … metal if fed in the …”) (ChemTreat).
Baca juga:
Penerapan Sistem Biofilter dalam Pengolahan Limbah Air
Dampak terukur dan tren industri
Penghematan dan daur ulang air kian krusial. Softening yang efektif memfasilitasi reuse: soft water—atau RO‑permeate setelah softening—dapat beredar ulang tanpa menumpuk kerak. Laporan industri mencatat pabrik Asia‑Pasifik (termasuk produsen Indonesia) kini rutin melakukan reuse berulang; Sappi dan lainnya melaporkan hingga 7–10 siklus reuse internal, dengan softening/RO untuk polishing boiler feed (ResourceWise). Implementasi RO industri dapat dilakukan via brackish water RO di hilir softener.
Dari sisi maintenance, upgrade dari perlakuan kimia parsial ke softening penuh di industri terkait (mis. pembangkit) menunjukkan penurunan frekuensi pembersihan boiler 20–50%, yang berujung pada kenaikan performa termal beberapa persen. Data pulp mill terpublikasi jarang, tetapi implikasinya serupa: konsumsi bahan bakar per ton steam lebih rendah, outage tak terencana lebih sedikit, dan umur tube lebih panjang.
Biaya bahan kimia vs garam menjadi metrik kunci. Softening mengonsumsi garam berkelanjutan; contoh pabrik menengah dengan 10 mgd softening bisa memakai 5–10 ton garam per hari (≈60–120 kg/hari per 100 m³/jam pada 200 mg/L hardness). Program kimia mungkin hanya puluhan kg/hari dosis, namun umumnya menuntut blowdown lebih besar (meningkatkan TDS/COD efluen). Analisis siklus hidup umumnya menemukan softener menurunkan biaya total untuk sumber air dengan hardness tinggi karena efisiensi boiler lebih baik dan downtime berkurang.
Regulasi Indonesia (mis. Permen KLHK) fokus pada mutu efluen (BOD, COD, TSS, nutrien) ketimbang hardness. Mencapai baku mutu ini lebih mudah jika cooling/process water ditangani dengan baik karena hardness berlebih meningkatkan blowdown dan limbah. Kebijakan kelangkaan air—termasuk pembatasan pemanfaatan air tanah (World Water Forum)—mendorong closed‑loop dengan softening sebagai tulang punggung.
Kesimpulannya, softening ion‑exchange yang didesain baik memberikan manfaat operasional konkret: downtime kerak turun, efisiensi termal naik, dan reuse air meningkat. Hasilnya terukur dan prediktif—kapasitas desain dan metrik regenerasi, pengukuran hardness, log konsumsi garam, dan TDS blowdown (Watts; Veolia Water Technologies). Sebaliknya, pendekatan murni kimia cenderung lebih variabel dan sering perlu trial‑and‑error dosing. Untuk pabrik yang membidik steam berkualitas tinggi dan kontrol proses ketat, data kuat memihak softening ion‑exchange sebagai backbone kendali hardness—dengan inhibitor sebagai pelengkap, bukan pengganti (ChemTreat; ChemTreat).
baca juga:
Pengertian dan Pengaruh TDS dan TSS Terhadap Kualitas Air
Sumber: referensi industri/teknis untuk konsumsi air, kapasitas resin, dan kinerja pengolahan—ResourceWise; WaterTechOnline; Veolia Water Technologies; Veolia Water Technologies; Veolia Water Technologies; SystematixUSA; ChemTreat; ChemTreat; ChemTreat; Watts; MECC; World Water Forum.