Kalsium (Ca²⁺) bukan sekadar mineral—ia menstabilkan α‑amilase di suhu mash dan bisa menaikkan hasil alkohol hingga puluhan liter per ton biji. Strateginya: setel pH mash 5,2–5,6 dengan gypsum atau kalsium klorida sambil mengatur keseimbangan sulfat‑klorida sesuai gaya bir.
Industri: Brewery | Proses: Mashing
Dalam mash, error kecil di kimia air bisa merobohkan enzim. Penelitian dan panduan industri menunjukkan: α‑amilase jelai adalah metaloenzim yang mengandung Ca²⁺ dan membutuhkan Ca²⁺ agar stabil pada suhu mashing—tanpanya, enzim ini cepat rusak di atas ~65 °C (Murphy & Son; ResearchGate). Sementara β‑amilase tidak memerlukan Ca²⁺ untuk stabilitas (Murphy & Son).
Konsekuensinya praktis: mash rendah Ca²⁺ kerap menghasilkan aktivitas α‑amilase yang buruk dan ekstrak fermentabel yang lebih rendah. Penambahan ~100–200 ppm Ca²⁺ (ppm = mg/L) pada air lunak dilaporkan menaikkan hasil alkohol lebih dari 50 L alkohol murni per ton biji (sekitar kenaikan 3–5%) (ResearchGate). Rekomendasinya jelas: pertahankan ~50–150 ppm Ca²⁺ di mash untuk menstabilkan α‑amilase dan mendorong kedua enzim bekerja pada pH mash optimal.
MDEA vs Hot Potash vs PSA: Teknologi Penghilangan CO₂ Amonia
Stabilitas enzim dan peran kalsium
Murphy & Son menegaskan, “Without the protection of Calcium ions, α-amylase is rapidly destroyed at normal mashing temperatures” (Murphy & Son). Fakta ini menjelaskan mengapa menjaga Ca²⁺ 50–150 ppm berdampak langsung pada performa enzim.
Magnesium: nutrien ragi, bukan kunci mash
Magnesium (Mg²⁺) jauh kurang krusial saat mashing. Malt sudah menyuplai sebagian besar Mg²⁺; rujukan pembuatan bir merekomendasikan hanya ~20–40 mg/L Mg²⁺ di air (BrewingForward). Pada kadar rendah, Mg²⁺ sedikit menambah kekerasan dan buffer pH mash, namun peran utamanya adalah nutrien ragi—300+ enzim membutuhkan Mg²⁺ (BrewingForward).
Batas rasa juga penting: di atas ~100–125 mg/L, Mg²⁺ dapat memberi astringensi keras dan bahkan efek laksatif (BrewingForward). Karena itu, Mg²⁺ pada wort biasanya dijaga jauh di bawah 30 mg/L. Untuk optimasi enzim, mengendalikan Ca²⁺ saja sudah memadai, sementara Mg²⁺ cukup 10–30 mg/L untuk kesehatan fermentasi (BrewingForward).
pH mash, fosfat, dan efek penambahan Ca²⁺
Target pH mash adalah ~5,2–5,6. Pengatur utamanya: keasaman grain dan kimia fosfat. Malt mengandung fitin (fitat kalsium/magnesium); saat dipecah enzim fitase malt, terbentuk asam fitat yang mengikat Ca²⁺ dan melepaskan H⁺, sehingga membuffer mash. Penambahan garam Ca²⁺ yang larut menggeser kesetimbangan ini—Ca²⁺ mengikat fosfat sebagai kalsium‑fosfat, melepaskan lebih banyak H⁺ dan menurunkan pH mash (Biocel).
Secara praktis, setiap penambahan 100 ppm Ca²⁺ dapat menurunkan pH mash ~0,1–0,2 unit—cukup untuk mempercepat kerja enzim. “Ca²⁺ reacts with phosphates in the malt…forming insoluble calcium phosphate…leading to a reduction in mash pH. This pH adjustment optimizes enzymatic activity, particularly of α‑amylase and β‑amylase” (Biocel). (Dinyatakan lain: Ca²⁺ mengurangi kapasitas buffer fosfat wort, mempercepat konversi.) Praktiknya, sedikitnya 50 ppm Ca²⁺ di mash membantu melarutkan oksalat dan mendukung nutrisi ragi (BYO).
Garam brewing: gypsum vs kalsium klorida

Penambahan Ca²⁺ termudah lewat garam brewing. Gypsum (CaSO₄·2H₂O) dan kalsium klorida/CaCl₂·2H₂O sangat larut dan sama‑sama memicu pengendapan fosfat, sehingga keduanya akan menurunkan pH. Sebaliknya, CaCO₃/kapur dihindari karena sukar larut. Secara eksperimental, penambahan ~100–150 mg/L Ca²⁺ lazim; satu studi yang menambah 100–200 mg/L Ca²⁺ pada air lunak mencatat kenaikan >50 L alkohol murni/ton biji seperti di atas (ResearchGate).
Aturan praktis dosis: menambahkan 1 g CaCl₂ per liter air ~+120 ppm Ca dan ~+350 ppm Cl (BrunWater); sedangkan 1 g gypsum per liter ~+230 ppm Ca dan ~+300 ppm SO₄. Keduanya mengasamkan mash dan menstabilkan α‑amilase. Untuk akurasi penambahan bahan, pabrik kerap mengandalkan peralatan penambahan kimia akurat seperti dosing pump agar target ppm tercapai konsisten.
Uap Lebih Rendah, Biaya Turun: Efisiensi Energi Regenerasi Solven CO₂
Sulfat vs. klorida: pengaruh ke rasa
Meskipun sama‑sama menyuplai Ca²⁺, anion pendampingnya sangat memengaruhi citarasa. Sulfat (SO₄²⁻) menonjolkan kepahitan hop dan finish kering; klorida (Cl⁻) memperkuat body dan kesan malty (BeerSmith). Kadar Cl⁻ >200 ppm memberi kesan “full” dan malty, sedangkan SO₄²⁻ >200 ppm menggarisbawahi ketajaman hop (BeerSmith).
Tidak heran gypsum (CaSO₄) populer pada pale ale dan IPA (the “Burton cure”), sementara CaCl₂ menonjol pada bir malty (stout, lager malty). Honsey mencatat air Burton‑on‑Trent sangat “gypseous” (sulfat Ca/Mg tinggi) yang “promote protein coagulation…allow high hop-rate usage…result[ing] in the clear, sparkling ale for which Burton became famous.” (Precision Fermentation). Sebaliknya, air Chicago atau Dublin (untuk stout) cenderung memiliki rasio klorida‑sulfat lebih tinggi sehingga melembutkan kepahitan. Banyak brewer menargetkan rasio sulfat:klorida ≈1:1 untuk profil seimbang; rasio >1 bagi bir hop‑forward dan <1 bagi bir malt‑dominant (BeerSmith).
Contoh profil air per gaya
American IPA: ~90 ppm Ca, 160 ppm SO₄²⁻, 50 ppm Cl⁻. Contoh benchmark 19 L: penambahan 5 g gypsum + 2 g CaCl₂ menghasilkan air akhir ~90 ppm Ca, 160 ppm sulfat, 51 ppm klorida (Kruger Brewer Blog).
Bohemian pilsner: air sangat lunak—sekitar 30 ppm Ca, sulfat nyaris nol, klorida moderat (~50 ppm) (Kruger Brewer Blog). German pilsner: Ca ~30 ppm, Cl⁻ dan SO₄²⁻ masing‑masing ~50 ppm (Kruger Brewer Blog). Sweet stout: target ~100 ppm Ca dan 100–150 ppm Cl⁻, dengan sulfat rendah untuk menjaga karakter roasted.
Di semua kasus, pH mash sekitar 5,2–5,4 (untuk bir pucat) atau ~5,5 (untuk bir gelap) menjadi sasaran, dicapai lewat kombinasi keasaman grain, ion penyangga, dan penambahan Ca²⁺.
Panduan membangun profil air
Langkah praktis: dapatkan analisis air dasar, rencanakan grain bill dan pH mash target (~5,2–5,6). Gunakan perangkat lunak brewing atau perhitungan untuk menentukan kebutuhan gypsum/CaCl₂ demi mencapai target Ca²⁺ sekaligus menata SO₄²⁻/Cl⁻. Target kunci: Ca²⁺ ~50–150 ppm (minimal 50 ppm untuk mencegah “beerstone” dan untuk pelarutan oksalat/nutrisi ragi, BYO); Mg²⁺ ~10–30 ppm; SO₄²⁻ hingga 300–400 ppm untuk bir hoppy; Cl⁻ hingga 100–150 ppm untuk keseimbangan malt (rujukan praktik dan rentang ion: BeerSmith; rasio sulfat‑klorida: BeerSmith).
Contoh setelan: pale ale “balanced” dapat memakai Ca ~100 ppm, SO₄/Cl ≈1:1; IPA kering dapat mendorong SO₄:Cl ≈3:1. Pantau pH mash dengan meter atau kertas uji; penambahan Ca²⁺ biasanya mengarahkan pH masuk rentang sasaran. Penambahan garam yang konsisten terbantu oleh dosing pump agar kalkulasi ke ppm di dalam tangki tercapai stabil.
Standar air minum Indonesia dan operasional
Sebagai konteks, standar air minum Indonesia (Permenkes 492/2010) memperbolehkan total hardness hingga 500 mg/L (sebagai CaCO₃, kira‑kira Ca <200 ppm) dan Cl⁻ hingga 250 mg/L (Permenkes 492/2010). Praktik operasional sebaiknya menjaga kimia wort di dalam batas aman ini (dan di bawah panduan Ca 200 mg/L yang dikutip otoritas kesehatan, Scribd). Dalam praktiknya, sebagian besar bir beroperasi jauh di bawah nilai‑nilai tersebut.
Kesimpulan operasional: dengan menyetel penambahan gypsum dan CaCl₂ agar mencapai rentang Ca²⁺ optimal enzim (≈50–150 ppm) sekaligus keseimbangan SO₄/Cl spesifik gaya, mash conversion dapat dimaksimalkan dan profil bir tercapai dengan presisi dan repeatability berbasis data (BYO; BeerSmith).
baca juga:
Reformer Tube Pabrik Amonia: Material Ni-Cr & Strategi Inspeksi Tahan Panas
Rujukan dan data
Basis data dan kutipan: stabilitas enzim dan pH mash (ResearchGate; Biocel; Murphy & Son); praktik dan rentang ion (BeerSmith; BeerSmith; profil gaya: Kruger Brewer Blog; Kruger Brewer Blog); dosis garam (BrunWater); nutrisi Mg dan batas rasa (BrewingForward; BrewingForward; BrewingForward); konteks gaya air klasik (Precision Fermentation); serta standar Indonesia (Permenkes 492/2010; Scribd). Seluruh kesimpulan di atas konsisten dengan rujukan industri seperti BYO.
