Dengan retention aids dan drainage aids, pabrik kertas menaikkan First‑Pass Retention 5–20 poin persentase dan yield 1–5%—sekaligus mempercepat dewatering dan menurunkan beban white water serta unit klarifikasi.
Industri: Pulp_and_Paper | Proses: Papermaking
Pada wet end papermaking, game-changer-nya justru bahan tambahan yang tak terlihat: retention aids dan drainage aids. Dengan “mengikat” fines, filler, dan add-on lain ke jaringan serat, polimer khusus ini menaikkan first-pass retention (FPR, porsi serat/fines/filler yang langsung tertangkap di wire pada lintasan pertama) sebesar 5–20 poin persentase, memberi lonjakan yield bersih 1–5% poin—data yang berulang di survei mesin tissue (www.tissuestory.com) (www.tissuestory.com).
Dampaknya beruntun: drainase lebih cepat di forming table (waktu vakum/blow-through memendek), speed mesin naik, dan konsumsi energi turun. White water lebih bersih berarti beban effluent treatment berkurang. Relevansinya kasa: sektor pulp/kertas Indonesia (62 perusahaan, ~12,98 juta ton/tahun kertas) menghadapi limit pemakaian air (≤65 m³/ton pulp, 45 m³/ton terintegrasi) dan ≥25% reuse—target efisiensi yang disokong langsung oleh retensi wet end yang lebih tinggi (id.scribd.com).
Peran retensi di wet end
Retention aids (bahan penolong retensi) umumnya polimer bermuatan tinggi dan bermassa molekul besar, terutama kationik, seperti cationic polyacrylamide/CPAM (kationik polyacrylamide) atau polyamine. Mekanisme utamanya bridging/coagulation: polimer kationik terserap pada fines/serat bermuatan negatif, membentuk flok longgar yang mudah tertangkap di wire. Program retensi yang baik memberi distribusi filler lebih seragam, mengurangi two-sidedness, dan menaikkan opacity (papermaz.blogfa.com).
Efek samping yang diinginkan: suspended solids di effluent turun karena lebih banyak serat/fines ikut jadi produk, bukan terbuang—uji tissue menunjukkan sludge clarifier dan DAF menurun ketika retensi naik (www.tissuestory.com). Untuk konteks pengolahan, penurunan beban ini selaras dengan penggunaan koagulan dan flokulan seperti coagulants dan flocculants pada tahapan klarifikasi.
Secara angka, tanpa bantuan kimia, retensi filler awal sering rendah (<30–40%), terutama pada furnish ringan atau daur ulang. Dengan polimer kationik (mis. CPAM, polyamine), retensi filler lazimnya terdongkrak ke 60–80% atau lebih—bergantung sistem. Kurva respons cenderung naik lalu plateau: satu studi menunjukkan retensi ash naik stabil hingga sekitar 400 g/ton penambahan polimer, lalu jenuh (www.researchgate.net). Secara praktik, titik awal dosis untuk high‑MW dan high‑charge polimer di kisaran ~100–500 g/ton, lalu disetel lagi memakai microparticle booster.
Catatan keseimbangan mutu: polimer retensi bisa merapikan formasi dan sedikit menambah kekuatan lewat persebaran fines/filler yang lebih merata (serta mengurangi two‑sidedness, papermaz.blogfa.com). Namun overdosing terbukti menurunkan tensile strength dan kehalusan permukaan pada recycled board—flok membesar, lembaran jadi “chunky” dan lemah (www.mdpi.com).
baca juga: Media Filtrasi : Sand Filter, Carbon Filter dan Iron Filter
Aditif drainase dan mekanismenya
Drainage aids (bahan penolong drainase) membantu air lebih cepat lolos dari mat serat tanpa merusak formasi. Banyak yang identik atau serumpun dengan retensi, tergantung cara pakai. Polielektrolit kationik—termasuk alum, cationic starch, atau CPAM—dapat “menutup” mikroporositas dan melepaskan air, sehingga waktu tertahan di meja berkurang (papermaz.blogfa.com). Flokulasi fines juga mencegah plugging pada wire; kanal tetap terbuka dan air mengalir lebih lancar (papermaz.blogfa.com).
Banyak pabrik memakai duo‑system: koagulan kationik lebih dulu (PDADMAC, polyamine, atau CPAM) untuk “menangkap” fines, lalu microparticle anionik seperti colloidal silica, bentonite clay, atau latex sintetis untuk re‑flokulasi mikro. Hasilnya micro‑flocs yang sangat cepat drain di bawah vakum; dalam literatur, penambahan 20% filler dilaporkan menurunkan waktu drainase sekitar 20% vs stock tanpa filler (www.researchgate.net).
Konsekuensi pemilihan kimia: studi komparatif mendapati retention aids kationik memperbaiki drainase pada shear tinggi, sementara sistem polimer bermassa molekul sangat besar (PEO) justru memperlambat drainase—pelajaran bahwa kimia harus cocok dengan furnish (www.researchgate.net). Di lapangan, perbaikan diukur dengan Canadian freeness (CSF) atau vacuum drainage: sistem retensi/drainase yang tepat bisa memperjernih Parker return pit water atau mengurangi freeness 100–300 mL CSF pada kondisi konstan—menerjemah ke lebih sedikit wet‑end breaks dan efisiensi mesin lebih tinggi.
baca juga: Media Filtrasi : Sand Filter, Carbon Filter dan Iron Filter
Polimer spesial dan dosis praktis
CPAM dan polyamine (mis. polyethyleneimine, cationic starch) mendominasi retensi: charge density tinggi untuk bridging fines dan add‑on anionik. Untuk partikulat lebih kasar (fines/platelets), CPAM dengan muatan moderat (sekitar 3–14 meq/g) dan MW 5–15 MDa efektif. Untuk filler kolodial yang sangat halus, polimer bercharge sangat tinggi (mis. PDADMAC 60–80% kationik, resin polyamine) dipakai pada dosis sangat rendah (~10–100 g/t).
Microparticle additives—colloidal silica berukuran sub‑10 nm atau bentonite—memberi permukaan anionik sangat tinggi. Dalam “microparticle retention system,” polimer kationik dosis kecil ditambahkan lebih dulu, disusul silika atau clay. Partikel anionik ini mengikat kelebihan situs kationik pada flok, membuatnya lebih berpori dan tahan shear, sehingga retensi >80% untuk filler bisa dicapai pada dosis kationik di bawah tingkat jenuh. Dosis silika komersial lazim 0,03–0,1% solids on dry stock (300–1000 g/t) (patents.google.com).
Ada juga drainage aids anorganik/organik: polimer anionik larut air (mis. dextran, polyacrylate) yang mendispersi fines, atau aditif berbasis pati untuk membantu dewatering di foil/vacuum box. Namun performa tertinggi lazim dari kombinasi kationik‑microparticle. Pada kondisi superhygenic, polimer retensi yang lebih pendek (mis. poly(vinylamine)) berpasangan dengan silika menunjukkan pemerataan filler yang sangat baik pada dosis rendah.
Secara kuantitatif, polimer bercharge tinggi bekerja pada gram per ton rendah; high‑MW (low‑charge) CPAM biasanya 50–300 g/t. Sistem kombinasi sering menurunkan kebutuhan CPAM sambil mempertahankan/menaikkan retensi: misalnya, pasangan polyamine/silika 200 g/t + 100 g/t bisa menyamai strategi CPAM tunggal 400 g/t. Reduksi ini menekan biaya dan beban konduktivitas, serta memitigasi dampak negatif pada wetting dan formasi. Sebagai contoh lain, dosis kecil anionic polyacrylate (20–50 g/t) dapat menaikkan dewatering di table vacuum 10–20% tanpa merusak formasi; overdosing justru menghasilkan lembaran dek yang menyisakan free water.
Baca juga:
Penerapan Sistem Biofilter dalam Pengolahan Limbah Air
Optimasi dosis dan trade‑off formasi
Tujuan pengaturan dosis adalah targeted flocculation: cukup untuk “memaku” fines/filler, namun tetap kecil agar formasi merata. Underdosing menurunkan retensi dan menaikkan biaya bahan baku/effluent; overdosing membentuk flok besar, pori terlalu lapang, drainase awal mungkin sangat cepat tetapi air terperangkap pada flok dan lembar “lunglai” di couch (papermaz.blogfa.com), bahkan “break like wet tissue” di vakum pada kasus ekstrem.
Kurva retensi vs dosis lazimnya plateau setelah optimum—contoh: retensi filler naik hingga ~400–600 g/t CPAM lalu jenuh (www.researchgate.net). Di laboratorium papermaking kontinu, jendela optimum bisa sempit: setiap deviasi 10–20% pada dosis dapat mengubah white‑water solids atau kualitas lembar secara nyata. Alat seperti dynamic drainage meter, focused beam reflectance (FBRM), atau rig headbox/former skala lab dipakai untuk menetapkan dosis in‑machine. Pengaturan muatan juga praktis dilakukan di pabrik: mulai dari baseline retensi (mis. 70% ash tertahan tanpa aid), lalu tambah polimer bertahap 50 g/t sambil memantau FPR dan formasi via scanner. Sweet spot dicapai ketika kenaikan retensi makin datar dan “minutes velocity” berhenti membaik.
Drainage aids pun harus seimbang: garam atau polimer sangat bermuatan bisa terlalu “meruntuhkan” jaringan serat hingga lembar menahan air berlebih. Di meja, aditif anionik dosis gram per ton kerap dipakai untuk melepaskan air cepat; tetapi overuse memicu dek dengan air bebas.
Di operasi, pengendalian presisi terbantu peralatan dosing seperti dosing pump untuk menjaga akurasi injeksi kimia dalam jendela optimum.
Baca juga:
Penerapan Sistem Biofilter dalam Pengolahan Limbah Air
Dampak biaya, operasi, dan regulasi
Ekonominya konkret. Yield dan penghematan serat: setiap persen serat yang terselamatkan langsung kembali ke neraca produksi. Pada pabrik 1 juta ton/tahun, peningkatan retensi total 5% menghemat 50.000 ton serat per tahun—sekitar US$15–20 juta nilainya. Pengolahan air: retensi tinggi berarti lebih sedikit suspended solids ke unit klarifikasi; program retensi kerap memangkas total suspended solids ke clarifier hingga separuh, menekan kebutuhan koagulasi kimia dan pembuangan sludge. Dalam studi tissue, saat FPR naik, konsumsi DAF turun sejalan (www.tissuestory.com).
Di sisi peralatan, penurunan beban ini berdampak pada operasi unit clarifier dan DAF yang lebih efisien, karena lebih banyak fines/filler tertahan di lembaran. Kinerja mesin: drainase lebih baik memendekkan downtime dan memungkinkan speed lebih tinggi; studi tissue yang sama mencatat variabilitas wet end berkurang dan felt life lebih panjang.
Untuk kontrol, pabrik memakai umpan balik dari sensor kekeruhan white water atau neraca massa seperti first‑pass ash retention meter guna mengatur dosis secara otomatis. Sistem early‑warning mendeteksi penurunan retensi dan menyesuaikan laju dosing; data analytics (mis. soft sensors pada basis weight dan moisture) makin umum dipakai untuk fine‑tuning feed.
Dari perspektif regulasi, retensi tinggi membantu kepatuhan. Standar industri Indonesia (Kep. Menperin No. 514/2015) menuntut reuse air tinggi dan volume buangan rendah (id.scribd.com). Dengan menangkap fines dan memutar kembali white water, konsumsi air make‑up per ton menurun. Catatan: retensi lebih besar berarti lebih banyak solids di loop water—perlu filtrasi atau klarifikasi yang lebih intens—namun kebutuhan make‑up water secara keseluruhan turun.
baca juga:
Pengertian dan Pengaruh TDS dan TSS Terhadap Kualitas Air
Ringkasan hasil kunci
- Fibril & Filler Retention: Kenaikan +5–20 poin persentase FPR lazim terjadi (www.tissuestory.com); retensi filler dengan aids sering mencapai >80%.
- Yield Improvement: Setara dengan 1–5% kenaikan yield produksi (www.tissuestory.com), dengan penghematan bahan baku proporsional.
- Drainage Rate: Sistem aid yang tepat dapat mengurangi volume white water sekitar ~10–20% atau lebih, dan memendekkan waktu vakum (contoh: 20% lebih singkat dengan 20% filler, www.researchgate.net).
- Balance/Formation: Dosis optimal menjaga kekerabatan formasi; overdosis membentuk flok besar dan menurunkan strength/kehalusan permukaan (www.mdpi.com) (www.researchgate.net).
- Water/Effluent: Retensi meningkat menurunkan suspended solids di effluent, membantu compliance (selaras dengan target pemakaian air Indonesia ≤45–65 m³/t, id.scribd.com).
Intinya: polimer retensi/drainase yang diracik dengan baik—dari CPAM dan polyamine hingga kolloid microparticle—terbukti meningkatkan efisiensi proses dan jejak lingkungan papermaking. Engineering penggunaannya—melalui uji lab dan kontrol on‑line—krusial untuk menuai benefit multi‑persen tanpa mengorbankan mutu kertas (www.mdpi.com) (www.researchgate.net).
Sumber: studi akademik dan laporan industri (papermaking research, TAPPI, data pemasok) untuk kuantifikasi retensi/drainase dan perilaku kimia (www.mdpi.com) (www.researchgate.net) (www.tissuestory.com) (papermaz.blogfa.com) (id.scribd.com). Data industri dan regulasi Indonesia memberi konteks produksi dan pemakaian air lokal (id.scribd.com) (id.scribd.com).