Setiap 10°F (≈5,5°C) pendinginan di cooling tower menguapkan ≈1% air sirkulasi. Pada range 20°F, konsumsi bisa mendekati ~2%—mendorong perlunya makeup dan kontrol kimia yang presisi untuk mencegah scale, korosi, dan biofilm.
Industri: Power_Generation_(HRSG) | Proses: Cooling_System
Open recirculating cooling systems (menara pendingin sirkulasi terbuka) menghemat air baku berkali-kali lipat dibanding once-through system (pendingin satu lintasan), tetapi konsekuensinya adalah konsentrasi garam terlarut naik akibat evaporasi sehingga risiko kerak (scale) dan korosi ikut melonjak. Data praktisnya jelas: “approximately 1%” air menguap setiap 10°F cooling range, sehingga 20°F mendekati ~2% kebutuhan makeup—semua ini adalah dasar desain neraca air dan program kimia di pembangkit modern (Water Handbook – Veolia; Open recirculating systems save water).
Kuncinya: blowdown (pembuangan terkontrol), balancing “cycles of concentration/COC” (siklus pemekatan = konsentrasi padatan di sistem/konsentrasi padatan di makeup), dan chemistry yang tepat untuk menjaga efisiensi kondensor dan cooling tower (kontrol parameter & treatment feed). Dalam praktik, banyak unit memilih COC moderat (3–6× makeup) sambil “memoles” blowdown dan memberi inhibitor, ketimbang COC rendah dengan blowdown berat.
Artikel ini merangkum program komprehensif—campuran inhibitor kerak, inhibitor korosi, dan biocide yang tangguh—untuk menjaga kebersihan tube kondensor dan stabilitas performa di beban panas sangat tinggi, lengkap dengan angka, batas regulasi, dan rujukan teknis yang digunakan industri.
Neraca air dan siklus pemekatan
Evaporasi menaikkan Total Dissolved Solids/TDS (padatan terlarut total) sehingga COC perlu dibatasi lewat blowdown. COC dihitung dari konduktivitas (atau tracer seperti klorida) antara makeup vs air sirkulasi; contoh, jika TDS makeup 500 ppm dan target COC 5, maka target TDS di basin ≈2500 ppm. Menara terbuka memang “menyelamatkan” air baku berkali-kali lipat vs once-through (Veolia), tetapi kontrol konsentrasi, pH, dan kimia harus rapat (Veolia).
Program kimia cooling tower yang menyeluruh lazim dirangkum sebagai chemicals khusus cooling tower, disesuaikan dengan beban panas, kualitas air makeup, dan target COC yang ingin dikejar untuk hemat air tanpa mengorbankan keandalan peralatan.
Strategi kendali kerak (scale)
Hardness (Ca²⁺, Mg²⁺) dan anion (HCO₃⁻, SO₄²⁻, silika, fosfat) mudah membentuk scale pada permukaan panas. Pertahanan pertama: kontrol konsentrasi via blowdown. Namun blowdown tinggi boros, sehingga diperlukan bahan tambahan: phosphonate atau polimer dispersan yang mengganggu pertumbuhan kristal dan mendispersi presipitat. Dosis asam (H₂SO₄/HCl) sering dipakai untuk menurunkan pH dan mengurangi alkalinitas karbonat (Veolia – rating B/B/S).
Guideline industri: pada 50 ppm Ca (sebagai CaCO₃), blowdown bisa cukup; pada 250–375 ppm Ca, blowdown harus dipasangkan dengan scale inhibitor (rating “B/S”); pada hardness sangat tinggi (750 ppm sebagai CaCO₃, ≈15× siklus), kombinasi asam + inhibitor diperlukan (rating “B/A/S”)—semuanya dirujuk dari tabel Veolia (tabel 31–1). Di lapangan, untuk makeup moderately hard (100–200 ppm CaCO₃), biasanya ditarget 2–5 mg/L phosphonate atau poli‑karboksilat; jika hardness dan alkalinitas lebih tinggi, dosis bisa 5–10 mg/L dengan kontrol pH 7–8 via asam.
Program modern menargetkan LSI (Langelier Saturation Index, indikator kecenderungan pengendapan karbonat) negatif/mendekati nol di basin. Monitoring Ca²⁺, alkalinitas, dan konduktivitas blowdown memungkinkan penyesuaian feed agar LSI ≤0. Silika dan sulfat dikendalikan dengan menjaga silika terlarut ≈150–200 ppm atau memakai inhibitor khusus silika bila diperlukan. Tren R&D terbaru menekankan inhibitor biodegradable ramah-lingkungan; phosphonate seperti HEDP efektif namun kurang terurai, sehingga polimer seperti polyaspartate/itaconic‑maleic makin dilirik (review 2016).
Untuk eksekusi formula anti-kerak, paket scale inhibitors biasanya dipadukan dengan polimer dispersant. Penambahan asam yang stabil dan presisi dioptimalkan menggunakan dosing pump agar setpoint pH dan LSI konsisten.
Baca juga: Pengolahan Limbah Secara Kimia
Program inhibitor korosi
Air hangat kaya oksigen di open loop adalah lingkungan korosif. Proteksi efektif membutuhkan blend inhibitor yang menyasar semua metalurgi. Pilar pertama adalah kontrol alkalinitas/pH—umumnya pH sirkulasi 8–9 (mengurangi serangan H⁺ dan melarutkan O₂), sekaligus membantu film pasif tipis CaCO₃ ketika inhibitor hadir (Veolia).
Opsional, beberapa sistem memakai film‑forming amines (amine volatil seperti cyclohexylamine) untuk mempasivasi baja dan tembaga di area low‑flow. Formulasi anorganik seperti zinc dan molybdate/nitrite umum digunakan: skema “zinc dianodic” (fosfat + 15–25 ppm Zn) lama dipakai menggantikan chromate; molybdate 200–300 ppm (sebagai MoO₄²⁻) memberikan stabilisasi film oksida baja/tembaga; nitrite 400–1000 ppm (NO₂⁻) juga protektif pada baja (riwayat zinc mengganti chromate). Organik seperti tolyltriazole/benzotriazole ~10–50 ppb melindungi tembaga; polimer (polyaspartate, polyphosphate esters) membantu buffering lokal. Di praktik, plant kerap memberi 5–15 mg/L blend Zn/fosfat atau molybdate plus inhibitor Cu, sambil memantau pH dan oksigen. Kontrol oksigen terlarut (deaerasi atau oxygen scavenger) juga lazim.
Seluruh program korosi harus “dikawinkan” dengan kontrol bio dan scale—formulasi zinc/fosfat akan gagal bila biofilm tumbuh (Veolia – Biological Fouling Control). Chromate, yang dulu umum, kini pada dasarnya dilarang; sesuai aturan EPA, open recirculating cooling harus menghindari chromate. Paket corrosion inhibitors modern menggantinya dengan zinc/molybdate/nitrite dan azole untuk all‑metal coverage. Penopang pH dapat berupa neutralizing amine pada skenario yang cocok. Untuk menekan O₂ terlarut, opsi oxygen scavengers kerap dimasukkan.
Pengendalian hayati: biocide terkoordinasi
Kombinasi panas, cahaya, dan aerasi menjadikan menara pendingin habitat ideal bagi algae, bakteri, jamur—membentuk slime/biofilm yang menaikkan tahanan perpindahan panas dan memicu MIC (microbiologically influenced corrosion). Resepnya: regimen biocide yang robust, menggabungkan oksidator dan non‑oksidator (Veolia).
Biocide oksidator (klor, chlorine dioxide/ClO₂, bromin, ozon, hidrogen peroksida) lazim untuk kontrol bulk. Praktik umum adalah pemberian kontinu residual rendah 0,2–0,5 mg/L free chlorine, dengan “shock” periodik lebih tinggi; contoh, pulsa hipoklorit/ClO₂ dapat mencapai >99% pembunuhan Legionella dan heterotrof dalam waktu singkat—satu studi industri menunjukkan penurunan Legionella ~1,8 log dan bakteri heterotrof (HPC, heterotrophic plate count) ~2 log setelah sekuens shock + continuous chlorination (MDPI). CTI/CDC merekomendasikan rotasi beberapa tipe biocide; non‑oksidator seperti glutaraldehyde, isothiazolinones, DBNPA menghabisi populasi resisten.
Indonesia membatasi free chlorine blowdown kondensor 0,5 mg/L (Permen LH 8/2009), sehingga target lapangan umumnya ~0,1–0,3 mg/L saat operasi, dengan spike singkat 1–2 mg/L saat shock—dibuktikan oleh baku mutu 0,5 mg/L free Cl₂ (peraturan). Dosis berlebih mempercepat korosi atau membentuk THM; karenanya beberapa fasilitas memadukan halogen dengan ozon (oksidator tanpa residu) atau UV (kontrol fisik) untuk menurunkan beban kimia. “Chlorination adalah biocide paling luas dipakai untuk biofouling control” (MDPI; Permen LH 8/2009).
Program biocides yang efektif dikendalikan dengan ORP (oxidation‑reduction potential) atau residu klorin spesifik; ORP sering dijaga >+650 mV pada program klorin. Untuk menekan residu kimia, beberapa fasilitas menambahkan UV disinfection sebagai kontrol fisik non‑kimia.
Baca juga:
Penerapan Sistem Biofilter dalam Pengolahan Limbah Air
Monitoring, kontrol, dan metrik kinerja
Keberhasilan program bergantung pada monitoring ketat: probe konduktivitas, pH meter, sensor ORP on‑line, plus uji lab berkala. Selain COC, residual inhibitor dipantau (uji kolorimetri/titrimetri untuk poli‑fosfat/zinc), alkalinitas mingguan untuk melihat drift pH, dan LSI untuk memprediksi kecenderungan deposit (Veolia).
Untuk korosi, coupon rack (baja, Cu, Al) memberikan laju korosi jangka panjang, sedangkan alat elektrokimia memberi umpan balik real‑time. Target ORP untuk pembunuhan mikroba biasanya dipertahankan pada setpoint (contoh +650 mV di program klorin). Indikator efisiensi proses seperti tekanan kondensor (vakum) dan approach temperature dicatat; desain approach 7–15°F harus tetap tercapai. Satu sumber teknik mencatat penurunan vakum 5 mmHg dapat menghabiskan ~0,5% heat‑rate turbin (≈3 MW pada unit ~600 MW) (ResearchGate). Feed kimia yang stabil biasanya dicapai dengan pompa dosing akurat yang terintegrasi dengan kontrol on‑line.
Dampak terukur pada keandalan dan air baku
Program yang berjalan baik menunjukkan: beban foulant rendah, COC tinggi (hemat air), dan permukaan metal stabil. Optimasi pH/COC dan feed kimia meminimalkan konsumsi bahan kimia dan volume blowdown dalam jangka pendek (Veolia). Jangka panjangnya: “permukaan heat exchanger lebih bersih, penggantian peralatan lebih jarang, downtime turun”—semua meningkatkan efisiensi sistem (Veolia).
Contoh kuantitatif: penerapan shock + continuous biocides menurunkan Legionella ~98% (1,95 log) dan hampir mengeliminasi bakteri heterotrof (MDPI). Program kimia yang disiplin mencegah deposit setebal ratusan mikron; Ascolese (1998) menunjukkan deposit 250 μm dapat menaikkan tekanan kondensor secara signifikan. Dampak ekonominya nyata: pada satu pembangkit 500 MW, fouling diperkirakan menghilangkan £15.000/hari dari produksi listrik (ResearchGate).
Dari sisi air, plant dengan treatment ketat bisa mencapai 5–7× COC dibanding 3–4× tanpa optimasi—blowdown terpangkas hingga separuh dan menghemat jutaan liter per hari. Secara umum, cooling tower yang dirawat baik memakai ~2–5% lebih sedikit makeup water dan hemat biaya perawatan.
Regulasi dan batas lingkungan
Pemilihan bahan kimia harus mematuhi baku mutu pembuangan. Di Indonesia (Permen LH 8/2009), untuk pembuangan cooling (air bahang): temperatur outlet maksimum +40°C dan free Cl₂ 0,5 mg/L (teks regulasi). Sebagai pembanding, kenaikan suhu alami air laut seharusnya tidak melebihi 2°C (Mongabay), sehingga batas +40°C terbilang longgar. Praktiknya, feed klorin tidak boleh membuat effluent >0,5 ppm; dosis tinggi perlu dideklorinasi atau ditahan sebelum blowdown. Formulasi dipilih agar minim produk samping toksik; global guideline melarang chromate dan membatasi amonia, nitrat, serta THM, mendorong pemakaian polimer low‑P dan organik biodegradable (tren inhibitor biodegradable).
Di Eropa, batas THM air minum (THM <0,1 mg/L) mendorong sebagian menara mengganti klorin dengan UV atau peracetic acid ketika makeup terkait jaringan air minum. Di Indonesia, walau batas BOD/COD untuk blowdown cooling relatif longgar, best practice tetap menekan COD discharge dengan oksidator ber‑residu rendah (seperti ozon) dan organik biodegradable.
baca juga:
Pengertian dan Pengaruh TDS dan TSS Terhadap Kualitas Air
Desain program terintegrasi dan contoh dosis
Program komprehensif menyatukan tiga pilar: (1) inhibitor scale + pH/blowdown control, (2) inhibitor korosi + pemeliharaan pH, dan (3) biocide (oksidator + non‑oksidator). Masing‑masing saling menguatkan: biocide menjaga permukaan bersih agar inhibitor bekerja; chelant/dipersan menstabilkan logam terlarut. Monitoring ketat (blowdown otomatis, analitik on‑line) dan kontrol adaptif adalah fondasi—mengarah ke peningkatan efisiensi kondensor dan output MW, serta penurunan downtime (Veolia; MDPI).
Contoh formulasi praktik: phosphonate‑based scale inhibitor 2–5 mg/L, dispersant polyacrylate 1–3 mg/L, corrosion blend zinc‑phosphate (10 mg/L PO₄³⁻ + 2 mg/L Zn²⁺), dan dual biocide (kontinu 0,2 mg/L Cl₂ + shock mingguan 20 mg/L DBNPA). Ini bersifat ilustratif; dosis aktual ditentukan oleh evaluasi lab terhadap makeup dan loop site‑spesifik. Pada pH stabil 8,5 dengan 10 ppm total inhibitor dan 0,3 ppm Cl₂, laju korosi dapat <0,05 mpy (mils per year, satuan laju korosi) dan laju scale tertahan <10% dari baseline tanpa treatment—semuanya dengan bahan EHS‑compliant (polimer biodegradable, inhibitor low‑chloride) untuk memenuhi batas Indonesia (free Cl₂ 0,5 ppm, dll) dan norma internasional.
Dampak bisnisnya tegas: COC 5× dibanding 3× dapat menghemat air baku ~40% tanpa scale berarti, berkat inhibitor. Studi percontohan (EPRI/EPA) konsisten menunjukkan menara yang ditreatment baik memakai ~2–5% lebih sedikit makeup dan hemat perawatan. Setiap 0,1% perbaikan heat‑rate (dengan kondensor lebih bersih) pada unit 1000 MW berarti ≈1 MW—setara penghematan bahan bakar ~$0,5–1,5 juta per tahun. Ketika indikator seperti approach tetap pada desain 7–15°F dan vakum kondensor stabil, program kimia telah “terbayar” dalam bentuk MW tambahan dan umur aset yang lebih panjang.
Rujukan teknis utama: Veolia Water Technologies – Water Handbook, Open Recirculating Cooling Systems (tautan 1; tautan 2; tautan 3), standar efluen Indonesia (Permen LH 8/2009) (tautan; Mongabay), studi inhibitor biodegradable (ResearchGate), serta disinfeksi menara pendingin (MDPI) dan dampak biofouling terhadap vakum/biaya (tautan 1; tautan 2).