Injeksi air skala besar untuk enhanced oil recovery (EOR) memompa bakteri bersama air ke reservoir. Jawabannya: program biocide dua tingkat yang terukur dan diawasi ketat agar SRB tak sempat bangkit.
Industri: Oil_and_Gas | Proses: Upstream_
Skalanya mencengangkan: operasi lepas pantai rutin menginjeksikan >1,5 juta barel/hari air laut ke reservoir—angka yang menyoroti betapa besarnya beban mikroba yang ikut terbawa (alvimcleantech.com). Oksigen terlarut biasanya disapu bersih memakai scavenger hingga <0,05 ppm untuk mencegah korosi aerobik (slideshare.net), namun justru menciptakan lingkungan anoksik (tanpa oksigen) ideal bagi sulfate‑reducing bacteria/SRB (bakteri pereduksi sulfat).
Konsekuensinya nyata: SRB memetabolisme sulfat menjadi H₂S (hidrogen sulfida) yang sangat korosif dan beracun, menurunkan kualitas minyak, serta mengerek biaya O&M; satu estimasi industri mencatat souring menambah sekitar ~2% biaya operasi (tambahan pekerjaan layanan, remediasi) (alvimcleantech.com). Tanpa kontrol biocide, injeksi air berisiko menyumbat, mengasami (souring), mengancam integritas sumur, dan pada akhirnya pendapatan.
Baca juga:
Mengapa Sterilizer Horizontal & Kontrol Otomatis PLC/SCADA Jadi Pilihan Utama di Pabrik Kelapa Sawit
Risiko mikroba pada waterflooding EOR
EOR (enhanced oil recovery) via waterflooding berarti menangani air dalam volume sangat besar dan kaya nutrien. Setelah oksigen dijerat hingga <0,05 ppm (oxygen/H₂S scavengers), rezim anoksik terbentuk—lahan subur untuk SRB. Di sinilah program biocide yang dirancang data menjadi garis pertahanan.
Biocide primer: disinfeksi massal aliran masuk
Lapis pertama adalah perlakuan kejut (shock) atau bulk pada air masuk untuk menumpas mikroba planktonik (mikroba bebas, bukan biofilm). Praktiknya, lapangan kerap memulai dengan oksidasi dan filtrasi; misalnya feed klorin kontinu pada header air laut, dengan target ~0,5 ppm residu klorin yang “menjatuhkan” beban mikrobiologi dalam hitungan menit (alvimcleantech.com). Pasokan klorin/hipoklorit kontinu di header air laut lazim; solusi on‑site seperti electrochlorination relevan di konteks ini.
Setelah diklorinasi, air dideklorinasi (misalnya dengan sodium bisulfite) untuk melindungi peralatan hilir—terutama membran RO untuk pengurangan sulfat—sebelum memasuki rezim anoksik (alvimcleantech.com). Agen deklorinasi seperti dechlorination agent dipakai agar sistem RO (mis. sea water RO) tetap aman. Tahap ini biasanya didahului polishing sederhana, misalnya filtrasi partikel memakai cartridge filter.
Begitu “anoxic protocol” diterapkan, biocide non‑oksidator dimasukkan. Biocide primer yang lazim: aldehyde (mis. glutaraldehyde atau formaldehyde releaser), DBNPA (2,2‑dibromo‑3‑nitropropionamide), THPS (tetrakis‑hydroxymethyl phosphonium sulfate), dan agen broad‑spectrum serupa (alvimcleantech.com; oilfieldtechnology.com), yang ditargetkan memberi reduksi 3–5 log pada total bakteri.
Rentang dosis di lapangan tegas: glutaraldehyde “banyak diterapkan” di 25–500 ppm (dengan lonjakan jangka pendek sesekali hingga ~2.500 ppm pada kasus berat) (pmc.ncbi.nlm.nih.gov). DBNPA atau THPS kerap dipakai ≥100 ppm untuk shut‑in sumur atau sterilisasi fasilitas. Data laboratorium menguatkan: Shi dkk. (2021) menunjukkan sekali dosis 750 ppm aldehyde‑releasing biocide/ARB memberi kontrol yang bertahan, sedangkan 100 ppm glutaraldehyde gagal menekan souring lebih dari ~7 hari (pmc.ncbi.nlm.nih.gov). Pada studi yang sama, 750 ppm menurunkan total mikroba dan SRB sekitar ~10³× (3 orde magnitudo) dalam pekan pertama (pmc.ncbi.nlm.nih.gov), sementara 100 ppm hanya memberi efek moderat yang singkat.
Catatan penting: begitu biofilm terbentuk, kebutuhan biocide melonjak ~10–1000× untuk menghapusnya—argumen tambahan untuk “membunuh” planktonik lebih awal (alvimcleantech.com).
Praktiknya, program primer sering berupa klorinasi kontinu (target ~0,5 ppm Cl₂) plus filtrasi, lalu injeksi batch glutaraldehyde atau sejenis pada beberapa ratus ppm selama beberapa jam–hari, berulang sesuai kebutuhan. Sasaran tipikal: HPC (heterotrophic plate count, jumlah koloni heterotrof) ≤10³ CFU/mL (colony‑forming units per mL) atau “SRB tidak terdeteksi” segera setelah perawatan. Jadwal pulsa kimia dan waktu kontak direkayasa menurut laju alir; misalnya “slug” 500 ppm selama 4–8 jam per hari, atau pigging periodik (pembersihan pipa dengan pig) dan perendaman. Ketika air laut permukaan tidak tersedia (injeksi air akuifer atau produced water onshore), pola dosis tinggi serupa diterapkan. Katalog biocides menyediakan opsi kimia yang sesuai untuk skenario ini.
Baca juga: Pengolahan Limbah Secara Kimia
Biocide sekunder dan rotasi kimia
Sesudah “sanitasi” awal, program tindak lanjut kontinu atau berkala mencegah rebound dan resistensi. Dosisnya jauh lebih rendah—umumnya satuan ppm—dipertahankan di jaringan distribusi dan pipa injeksi. Operator kerap menyuntik glutaraldehyde atau THPS dosis rendah (sekitar 5–30 ppm) secara terus‑menerus ke pipa atau header tank. Jika baru saja diberikan slug kejut, feed kontinu bisa ditahan sementara. Beberapa sistem menambahkan “squeeze” treatment ke bawah (injeksikan biocide langsung ke formasi) untuk melengkapi perlakuan topside.
Krtiis: jangan memakai satu jenis biocide yang sama secara tunggal dalam waktu panjang—itu menyeleksi strain resisten. Pengalaman lab dan lapangan menunjukkan populasi yang selamat dapat beradaptasi; Shi dkk. mencatat glutaraldehyde memperkaya SRB pembentuk spora (mis. Desulfotomaculum) yang mampu bertahan di kadar rendah lalu memulihkan reservoir (pmc.ncbi.nlm.nih.gov). Praktik terbaik: rotasi kimia atau gunakan campuran. Paten Rohm & Haas (1991) merekomendasikan isothiazolone (campuran 5‑chloro‑2‑methyl‑3‑isothiazolone dan 2‑methyl‑3‑isothiazolone) kontinu di ~0,25–2,5 ppm untuk menjaga kontrol SRB di antara dosis tinggi (patents.justia.com).
Contoh implementasi: sesudah filtrasi dan klorinasi, injeksikan 300–500 ppm DBNPA selama 24 jam (“shock kill”), lalu alihkan ke feed glutaraldehyde kontinu ~5–10 ppm di return line. Sebulan kemudian, lakukan pulsa THPS atau glutaraldehyde 200 ppm selama 4 jam, lalu kembali ke dosis pemeliharaan. Alternatifnya, dosis dua biocide secara simultan (THPS + glutaraldehyde pada kadar lebih rendah) untuk efek sinergis. Laporan lapangan kerap menyebut 0,5–5 ppm dalam mode kontinu efektif asalkan “pembunuhan” primer baik.
Tujuan rejim sekunder terukur: tidak ada pertumbuhan ulang signifikan di antara perawatan besar. Jika pembacaan ATP (adenosine triphosphate; uji aktivitas biomassa) atau MPN (most‑probable‑number; hitung probabilistik) pada air injeksi stabil dari pekan ke pekan, dosis pemeliharaan sudah memadai. Dosis dinaikkan bila tren HPC mingguan menanjak. Dalam satu studi acuan, 250 ppm glutaraldehyde saja gagal menekan pertumbuhan ulang lebih dari beberapa minggu, sementara alternatif yang lebih stabil mempertahankan kontrol ~2 bulan (oilfieldtechnology.com).
Baca juga:
Kondensat Sterilizer Sawit: Limbah Panas yang Bisa Diubah Jadi CPO dan Penghematan Energi
Program monitoring dan ambang keputusan
Monitoring yang kuat mutlak untuk memvalidasi dan menyesuaikan program biocide. Tanpa data, kenaikan mikroba di sela‑sela perawatan luput terdeteksi. Paket monitoring mencakup:
- Hitung mikroba: uji kultur rutin (MPN untuk SRB, APB/acid‑producing bacteria, atau total bakteri) dan uji ATP modern. Untuk sistem injeksi, ATP‑luminometer memberi “total active biomass” dalam menit (environmental-expert.com; environmental-expert.com). Banyak operator memakai kit cepat harian atau mingguan pada sampel air injeksi segar; kenaikan tajam luminesensi atau CFU menandakan regrowth. Target mikrobiolog: SRB MPN mendekati nol; injeksi sehat bisa <10 MPN/mL untuk SRB dan <10³ CFU/mL total.
- Pengukuran sulfida: H₂S terlarut pada fluida produksi atau titik sampling bawah permukaan adalah proksi kunci; peningkatan berkelanjutan menandakan kontrol souring melemah. Sensor online atau analisis lab berkala digunakan.
- Residual kimia: untuk biocide kontinu, kit lapangan (titrasi/kolorimetri) memverifikasi residual kecil (bahkan 1–2 ppm) bertahan di sumur injeksi. Tidak adanya residual mengisyaratkan konsumsi/reaksi.
- Laju korosi: kupon/probe korosi memberi peringatan dini MIC (microbiologically influenced corrosion). Lonjakan kehilangan bobot kupon yang berkorelasi dengan naiknya hitung bakteri sering terjadi.
- Analisis komunitas mikroba: sequencing DNA atau qPCR (quantitative PCR; mis. gen penanda SRB dsrB) untuk mengkuantifikasi salinan gen SRB—mendeteksi tren yang tak terlihat pada kultur. Shi dkk. menunjukkan metrik “alpha diversity” genomik berubah sebelum souring kambuh (pmc.ncbi.nlm.nih.gov; pmc.ncbi.nlm.nih.gov).
Data monitoring mendorong ambang keputusan yang eksplisit: misalnya, jika SRB MPN >1 atau ATPR (unit relatif cahaya) mengganda, tingkatkan slug biocide; jika H₂S di sumur produksi pertama >1 ppm, picu “emergency bleach shot.” Dengan melacak grafik ATP, CFU, dan H₂S harian/mingguan, tim mengkorelasi perawatan spesifik dengan hasil.
Monitoring juga melindungi dari konsekuensi tak diinginkan. Penggunaan glutaraldehyde sering dapat memicu efek non‑target atau pembentukan produk samping; uji lab perlu memastikan biocide tetap efektif dalam matriks brine lapangan. Sejumlah operator menginkubasi sampel kecil air injeksi dengan biocide dan mengukur kill curve (kontak 1, 2, 4 jam). Jika “mini‑batch test” menunjukkan kill menurun, itu indikasi toleransi meningkat.
Baca juga:
Parameter terukur dan hasil berbasis data
Output program yang rapi mudah dikuantifikasi: tetapkan target seperti SRB MPN <1/mL dan total ATP ≤500 pg/mL. Dalam satu studi kasus, beralih ke injeksi nitrat kontinu (strategi paralel, di luar ruang lingkup biocide murni) menurunkan salinan gen SRB >90% dan H₂S ~70% dalam 6 bulan (researchgate.net). Operator juga kerap melaporkan kontrol biocide yang baik menjaga sulfida pada produced water <0,1 ppm, sedangkan sumur tanpa kontrol bisa mencapai ratusan ppm. Program yang ketat mencegah plugging: satu lapangan membandingkan total volume injeksi sebelum/sesudah klorinasi + glutaraldehyde, dan melihat penurunan frekuensi pigging 50%.
Semua tahap diukur secara kuantitatif. Fasilitas mencatat dosis biocide (ppm, laju injeksi) versus metrik mikroba (CFU/ATP/H₂S). Outcome terukur seperti “log kill” yang diraih dan durasi efek dilacak. Data lab menyiratkan dosis aldehyde 750 ppm dapat mempertahankan H₂S <0,1 ppm hingga ~1 tahun (pmc.ncbi.nlm.nih.gov); praktisi membandingkan durasi aktual mereka terhadap tolok ukur ini dan menyesuaikan taktik.
Ringkasan program dua tingkat
- Tier 1 (Primer): biocide dosis tinggi (oksidator + non‑oksidator) untuk reduksi multi‑log pada bakteri air masuk. Dosis tipikal ordo 10–500 ppm, disetel terhadap aliran dan tantangan, menargetkan sanitasi nyaris total (CFU sangat rendah, SRB tak terdeteksi).
- Tier 2 (Sekunder): perawatan kontinu/berkala dosis rendah (rentang ppb–ppm) dengan satu atau lebih biocide alternatif untuk menekan mikroba residual dan mencegah regrowth. Gunakan kimia berbeda dari Tier 1 agar survivor tidak mudah toleran.
Siklusnya iteratif—treat, monitor, adjust—untuk menjaga aktivitas bakteri tetap terkendali, meminimalkan souring dan korosi, serta menjaga perolehan minyak. Pendekatan berbasis data dengan pengukur inline, test kit, dan pencatatan menjadikan program biocide proses terukur dan dapat diaudit, bukan tebak‑tebakan; jika tren menyimpang, program bisa diekskalasi (mis. dosis lebih tinggi, pigging, ganti kimia) sebelum alarm produksi berbunyi.
Sumber dan rujukan praktik: studi dan pengalaman industri (alvimcleantech.com; oilfieldtechnology.com; pmc.ncbi.nlm.nih.gov). Misalnya, Shi dkk. (2021) secara eksperimental menunjukkan bagaimana tingkat dosis sekali jalan dan jenis biocide mengendalikan SRB pada periode tertentu (pmc.ncbi.nlm.nih.gov; pmc.ncbi.nlm.nih.gov). White paper dan panduan (Alvim Cleantech 2017; Oilfield Technology 2022) merangkum praktik terbaik seperti 0,5 ppm klorin, 100–500 ppm glutaraldehyde, dan pola dosis kontinu vs batch (alvimcleantech.com; oilfieldtechnology.com).