Kolam limbah tradisional bisa membuang 60–70% nitrogen—kebanyakan lewat penguapan amonia—namun ambisi baku mutu seperti ≤0,5 mg/L NH3-N menuntut teknologi tambahan. Pilihannya: nitrifikasi/denitrifikasi yang diaerasi, presipitasi fosfor dengan alum/FeCl3, atau sistem alga.
Industri: Agriculture | Proses: Wastewater_Lagoons_&_Treatment
Fakta pahitnya sederhana: kolam limbah ternak (lagoon) yang lazim—cenderung anaerob/fakultatif—menyingkirkan nitrogen terutama lewat penguapan amonia atau nitrifikasi parsial. Survei kolam fakultatif di iklim sedang menunjukkan rata-rata 60–70% penghilangan total-N, terutama sebagai kehilangan amonia (www.researchgate.net). Dalam studi seri 4 kolam, sekitar 82% NH3-N influen hilang selama ±21 bulan dalam siklus musim dingin–musim panas (www.researchgate.net).
Namun ketika target pembuangan makin ketat—misalnya <0,5 mg/L amoniakal-N (NH3-N) sebagaimana Kelas III/Ef dalam PP 22/2021 (id.scribd.com)—satu tahap kolam saja jarang memadai. Opsi praktisnya: tingkatkan aerasi untuk mendorong nitrifikasi menyeluruh dan sediakan bak anoksik ditambah sumber karbon untuk denitrifikasi; tambahkan tahap biofilter berintensitas tinggi atau sequencing batch reactor (SBR); atau lakukan polishing biologis dengan wetland/kolam alga yang mengasimilasi nitrat.
Pra‑perlakuan fisik untuk menangkap debris kasar dari aliran flush membantu menstabilkan operasi—misalnya penggunaan penyaring otomatis seperti automatic screen sebelum unit kimia atau biologis.
Kinerja nitrifikasi/denitrifikasi di kolam
Nitrifikasi (oksidasi amonia menjadi nitrat oleh bakteri nitrifier) dan denitrifikasi (reduksi nitrat menjadi N2 di kondisi anoksik) sangat dipengaruhi waktu tinggal (HRT, hydraulic retention time), suhu, dan oksigen terlarut (DO, dissolved oxygen). Kolam fakultatif umumnya butuh HRT 20–150 hari dengan pencampuran terbatas; kolam diaerasi “partial‑mix” sekitar 3–20 hari; reaktor aerasi tercampur penuh ±1–3 hari (www.researchgate.net). Middlebrooks dkk. mencatat, “designing a lagoon to nitrify wastewater is not difficult if temperature, detention time and dissolved oxygen are adequate” (www.researchgate.net). Di iklim tropis yang hangat, hal ini umumnya lebih mudah.
Dalam praktik, kolam yang tidak dimodifikasi jarang mencapai nitrifikasi/denitrifikasi penuh ke konsentrasi N yang sangat rendah. Penghilangan N paling banyak terjadi lewat stripping amonia yang bergantung pada pH dan luas permukaan. Shilton (1995) mengukur laju volatilisasi NH3 355–1534 mg N/m²·hari pada kolam limbah babi, meningkat seiring konsentrasi NH3 (www.researchgate.net).
Strategi dua tahap kerap efektif: bak aerob/nitrifikasi diikuti bak denitrifikasi. Kinerja bergantung ketersediaan karbon organik. Pada kolam aerasi yang memadai, >90% konversi amonia ke NO3‑N tercapai jika DO >2 mg/L dan T >15 °C (Middlebrooks et al., 1983). Setelah nitrifikasi, kondisi anoksik plus sumber karbon (mis. BOD di kolam atau metanol/asetat eksternal) akan mereduksi NO3 menjadi N2. Uji percontohan kolam ternak ber‑aerasi menunjukkan penghilangan N tinggi bila dikelola baik—misalnya konfigurasi laguna sekuensial ala akuakultur mencapai hingga ±80–95% penghilangan total N di iklim subtropis (Earnest 1978; Shao 2000) (www.researchgate.net) (www.researchgate.net). Sebaliknya, kolam non‑aerasi biasanya mentok di <70% penghilangan N, menyisakan nitrat/amonia.
Ringkasnya, sistem nitrifikasi/denitrifikasi dapat memenuhi limit amonia/N ketat bila ukuran dan operasinya tepat. Metrik kunci: di kondisi tropis dengan aerasi, laju nitrifikasi sekitar ±15–30 mg NH3‑N/L·hari dan “multi‑log” pengurangan N memungkinkan. Tanpa aerasi, kolam bergantung pada perpindahan gas (as [38] shows) dan mungkin memerlukan waktu tinggal sangat panjang. Konsekuensi biayanya jelas: aerasi menambah CAPEX aerator dan energi sekitar ±0,1–0,5 kWh/m³·lb‑N teroksidasi, sehingga lebih mahal dari kolam pasif; keuntungannya adalah penghilangan N yang tangguh (sering 70–90%).
Ketika lahan terbatas atau dibutuhkan operasi yang fleksibel, tahap kompak seperti sequence batch reactor (SBR) sering dipadukan dengan lagoon untuk memastikan nitrifikasi dan menyediakan fase anoksik terkontrol.
Presipitasi kimia untuk fosfor
Koagulan kimia—alum (aluminum sulfate) dan garam besi seperti ferric chloride (FeCl3)—adalah cara mapan untuk menurunkan fosfor terlarut dengan cepat menjadi fosfat logam tak larut yang mengendap sebagai lumpur. Uji jar dan uji lapangan melaporkan efisiensi sangat tinggi: Sherman dkk. (2000) mencapai ~90% penghilangan total‑P dengan hanya ~106 mg Al/L (sebagai alum) (www.researchgate.net). Studi kasus Virginia Tech: jar test dengan alum atau FeCl3 plus polimer flokulan memberikan >97% penghilangan P dari limbah susu yang di‑flush (www.researchgate.net). Bahkan di tangki besar, dosis ~200 mg/L Al (alum) plus polimer mengikat ~84% total P ke lumpur (www.researchgate.net).
Ferric chloride dapat memberikan penghilangan P sebanding namun sering memerlukan dosis lebih tinggi. Zarate dkk. (2002) melaporkan ~88% penghilangan P dengan dosis ~278 mg Fe/L (dari FeCl3) pada aliran flush susu (www.researchgate.net). Garam berbasis aluminium umumnya lebih unggul per satuan berat (batas kelarutan lebih rendah) dan lebih murah per ekuivalen P yang dihilangkan. Uji bangku: alum 100–300 mg/L (sebagai Al) memberi ~80–99% penangkapan P (www.researchgate.net).
Komprominya: penghilangan P tinggi hampir selalu menghasilkan volume lumpur besar. Dalam satu uji, 180 mg/L Al (alum) menghilangkan ~89% P tetapi menghasilkan lumpur yang menempati ~58% kedalaman (www.researchgate.net). Karena itu, koagulasi idealnya dijalankan di bak pengendap dengan pengeringan lumpur. Lumpur kaya P ini bisa diaplikasikan ke lahan sebagai pupuk, namun penanganan/pembuangan menambah biaya. DeBusk dkk. (2008) mengestimasi biaya perlakuan kimia + polimer plus pengangkutan lumpur sebesar $4,09/m³ (≈$0,02/gal) limbah pada aplikasi kolam susu (termasuk ~200 mg/L Al dengan polimer) (www.researchgate.net).
Metrik kunci: harapkan >80% penghilangan P untuk dosis ~100–300 mg/L alum atau Fe; rasio kebutuhan sekitar 1,5–2,0 mol Al per mol P (~3–4 g alum per g P). pH pascaperlakuan biasanya berakhir mendekati netral. Di lokasi dengan limit P ketat (mis. target <0,5 mg/L sebagai P untuk badan air sensitif), presipitasi kimia sering menjadi satu‑satunya solusi andal (www.researchgate.net) (id.scribd.com).
Secara operasional, injeksi koagulan dan polimer memerlukan kontrol dosis yang presisi—di lapangan, hal ini umum dilakukan dengan dosing pump untuk menjaga konsistensi. Pemilihan bahan kimia dan polimer dibingkai dalam portofolio coagulants dan flocculants sesuai hasil jar test. Untuk pemisahan padatan‑cairannya, unit pengendap kompak seperti lamela settler atau bak pengendap konvensional (clarifier) sering dipakai setelah reaksi koagulasi‑flokulasi.
Sistem berbasis alga dan tanaman
“Phycoremediation” menggabungkan alga dan bakteri untuk mengasimilasi nutrien dan menghasilkan biomassa. Di wilayah hangat dan cerah, alga menyerap amonia dan fosfat untuk pertumbuhan. Studi laboratorium dengan konsorsium mikroalga–bakteri menunjukkan penghilangan nutrien sangat tinggi: Sacristán dkk. (2024) menumbuhkan kultur air tawar pada limbah peternakan babi dan menghilangkan ~87% total‑N serta ~70% ortofosfat dalam uji batch (link.springer.com). Kolam alga laju tinggi (HRAP, high‑rate algal pond) yang dangkal juga melakukan stripping amonia (karena pH permukaan yang lebih tinggi), sehingga penghilangan NH3‑N dapat signifikan. Dalam pilot setahun pada air limbah kota, dua raceway dangkal menghilangkan 73% (HRT lebih tinggi) dan 57% (HRT lebih rendah) nitrogen influen—utamanya lewat stripping NH3 (32–47%) dan asimilasi oleh alga (www.researchgate.net). Penghilangan total‑P di kolam alga umumnya lebih rendah dibanding kimia, sering 60–80% tergantung frekuensi panen biomassa dan beban.
Parameter desain tipikal: raceway/kolam sangat dangkal (20–30 cm) dengan paddlewheel untuk pencampuran. Laju penghilangan TN yang dilaporkan di HRAP teroptimasi berkisar ±40–100 mg N/m²·hari (www.researchgate.net). Dalam praktik, efluen akhir masih bisa mengandung beberapa mg/L N dan P kecuali biomassa dipanen kontinu. Biomassa alga yang dipanen (sering ±10–20 g kering/m²·hari) dapat dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai pupuk atau bahan bakar.
Keunggulan pentingnya adalah rendah energi: sistem mikroalga–bakteri menggunakan ~85% energi lebih sedikit daripada activated sludge konvensional (link.springer.com) (link.springer.com). Dengan kata lain, biaya operasi bisa jauh lebih rendah (tanpa aerasi), meski kebutuhan lahan dan peralatan panen menambah biaya awal. Panen lumpur alga (centrifuge, filter) menjadi tantangan dan pendorong biaya. Kontrol bloom alga memerlukan keseimbangan nutrien dan suplai CO2 tambahan (sering melalui aerasi atau gas buang bahan bakar fosil) pada desain intensif. Perlengkapan pendukung—dari mixer hingga dewatering—umumnya dikelompokkan sebagai wastewater ancillaries dalam paket instalasi.
Kerangka keputusan berbasis target dan lokasi
- Target regulasi: tentukan limit efluen N dan P menurut kelas badan air penerima. Contoh: PP 22/2021 menetapkan limit Kelas II (layak budi daya perikanan/akuakultur) sebesar 0,2 mg/L NH3‑N dan 0,2 mg/L total P (id.scribd.com). Mencapai level serendah ini umumnya memerlukan gabungan perlakuan (mis. nitrifikasi + presipitasi P atau sistem alga yang sangat intensif). Jika limit lebih longgar (Kelas III mentolerir 0,5 mg/L NH3‑N dan 1 mg/L P, id.scribd.com), perlakuan moderat mungkin cukup.
- Rasio nutrien: bandingkan N vs P influen. Jika P menjadi kekhawatiran utama (limbah ternak sering kaya P relatif terhadap kebutuhan tanaman), fokus presipitasi lebih tepat. Jika N—terutama amonia—dominan, aerasi/nitrifikasi atau penangkapan amonia dengan menaikkan pH menjadi kunci. Ketika keduanya tinggi, kombinasi metode lazim (kolam aerasi untuk N, dosis kimia untuk P, atau alga untuk keduanya).
- Iklim dan lahan: di Indonesia yang tropis, intensitas sinar matahari menguntungkan alga dan waktu tinggal yang lebih singkat. Lahan datar yang luas cocok untuk seri kolam dangkal (fakultatif + alga) berbiaya rendah. Di iklim lebih sejuk atau lahan terbatas, sistem aerasi mekanis yang kompak lebih menjamin nitrifikasi. Sebagai perbandingan, kolam aerasi butuh area jauh lebih kecil daripada kolam alga untuk debit dan beban yang sama.
- Biaya dan kompleksitas: presipitasi kimia berjejak kecil dan CAPEX rendah (tangki dan mixer), tetapi biaya bahan dan pembuangan berulang (~$0,01–0,05/m³ untuk reagen, plus pengangkutan lumpur, www.researchgate.net). Aerasi mekanik memiliki biaya modal/energi lebih tinggi (energi kira‑kira 0,2–0,5 kWh/m³) namun minim bahan kimia. Sistem alga meminimalkan energi (hingga ~85% penghematan, link.springer.com) (link.springer.com) tetapi memerlukan pekerjaan tanah dan kolam panjang serta tenaga panen berkelanjutan.
- Integrasi dan pemanfaatan kembali: pendekatan hibrida sering optimal. Contoh: efluen kolam mentah dialirkan ke tangki stabilisasi aerasi (menangkap 50–80% N via nitrifikasi), lalu ke kolam alga untuk polishing akhir. Jika limit P ketat, dosis kimia pasca‑aerasi (mis. injeksi alum) dapat “memoles” P untuk memenuhi kriteria. Strategi lain adalah memulihkan N sebagai struvite dengan menambah Mg dan menyesuaikan pH (tidak dirinci di atas, namun disebut di industri).
Target efluen nutrien yang sangat rendah (mis. <1–2 mg/L N atau P) tipikalnya membutuhkan dua tahap atau lebih. Untuk memenuhi ≤0,2 mg/L NH3‑N dan 0,2 mg/L P, kombinasi kolam/reaktor ber‑aerasi untuk nitrifikasi/denitrifikasi ditambah presipitasi kimia untuk P lazim dipilih. Jika limit moderat (5–15 mg/L), skema sederhana (kolam fakultatif + constructed wetland atau alga) bisa memadai. Perhitungan beban vs biaya perlu eksplisit: untuk tiap kg N atau P yang dihilangkan, hitung kebutuhan reagen atau energi. Contoh, satu kasus menunjukkan biaya perlakuan kimia/PAR ≈$4,09/m³ untuk memangkas P sebesar 84% (www.researchgate.net), sementara nitrifikasi lewat aerasi mungkin menelan ~$0,01–0,05 per m³ udara (pada 10¢/kWh) per beberapa mg N yang dioksidasi.
Di lapangan, evaluasi berbasis data membantu mengunci pilihan: pemodelan keluaran kolam, uji coba bertahap, pemantauan BOD, NH3‑N, dan PO4 pada efluen, serta jar test kimia dan biopond skala kecil untuk alga. Indikator yang dibandingkan meliputi konsentrasi nutrien efluen, produksi lumpur, biaya energi/kimia, dan kemudahan pemeliharaan. Benchmark dari studi: kolam yang menitrifikasi dapat menghilangkan hingga 95% NH3 jika dirancang baik (www.researchgate.net); dosis alum 100–200 mg/L menghapus 80–97% P terlarut (www.researchgate.net); reaktor alga mampu menghilangkan sekitar 60–85% N/P pada kondisi menguntungkan (link.springer.com) (www.researchgate.net). Matriks keputusan berbasis metrik ini mengarahkan kontrol nutrien yang berkelanjutan dan hemat biaya.
Sebagai catatan, presipitasi kimia dan bio‑treatment sering membutuhkan rantai peralatan pendukung dari pemisahan fisik awal (waste-water physical separation) hingga pengelolaan sludge akhir—portofolio yang biasanya digabung dalam paket layanan pengolahan limbah.
Sumber yang dirujuk mencakup tinjauan dan studi kasus kolam (www.researchgate.net) (www.researchgate.net), regulasi kualitas air (id.scribd.com), serta studi eksperimental terbaru (www.researchgate.net) (link.springer.com). Rincian sumber lengkap tercantum dalam sitasi di atas.