Cara Mengubah Sampah Jadi Tenaga: Kiln Semen Mulai Mengganti Batu Bara dengan Bahan Bakar Alternatif

Dari biomassa hingga ban bekas, bahan bakar alternatif menekan biaya, emisi, dan memaksa pabrik meng-upgrade burner serta preheater. Dampaknya: operasi kiln bergeser, kualitas klinker tetap terjaga, dan udara lebih bersih.

Industri: Cement | Proses: Kiln_Firing

Industri semen adalah peminum energi kelas berat—membutuhkan 3–4 GJ per ton klinker—dan menyumbang sekitar ~5% CO₂ global (www.cementequipment.org). Dengan produksi dunia >4 Gt/tahun dan ~2,2 Gt CO₂ (2016) (www.cementequipment.org), bahan bakar alternatif (alternative fuels/AF) menghadirkan dua keuntungan sekaligus: ongkos turun dan jejak karbon menyusut.

AF mencakup biomassa (jerami, serpih kayu, sekam, cangkang, lumpur limbah domestik/agroindustri, kotoran), refuse-derived fuels atau RDF dari sampah kota, tyre-derived fuel (TDF) dari ban, plastik, solvent bekas, minyak, dan seterusnya (www.intechopen.com) (www.cementequipment.org). Nilai kalor bervariasi: biomassa kering ~15–20 MJ/kg (batu bara ~24 MJ/kg) (www.intechopen.com); ban bekas ~30–36 MJ/kg namun mengandung ~20% Zn dan logam lain (www.intechopen.com).

Insentif finansialnya nyata. AF sering lebih murah dari batu bara, bahkan disertai “gate fee” sehingga pabrik dibayar untuk memproses limbah (www.cementequipment.org) (www.mdpi.com). Satu studi mencatat gate fee ~€10,9/t untuk solid waste fuel dan €15/t untuk RDF, menghasilkan penghematan biaya bahan bakar hingga ~€7,8 per GJ vs batu bara (www.mdpi.com). Di Eropa, AF menghemat ~2,5 Mt batu bara per tahun (www.intechopen.com) dan sejumlah negara (mis. Prancis ~52%, Swiss 25%) memakai ≥15%–50% AF di kiln klinker mereka (www.intechopen.com).

Indonesia ikut mengejar. PT Semen Indonesia Group melaporkan pemakaian 0,5 Mt AF pada 2024, menaikkan thermal substitution rate/TSR (porsi panas dari AF) ke 7,56% (dari 7,27% pada 2023) (www.antaranews.com); Indocement meningkatkan porsi AF dari 2,3% (2015) menjadi 11,7% pada pertengahan 2021 (www.thejakartapost.com). Di sisi lain, contoh terdepan seperti Polandia menembus 60–85% AF (www.thejakartapost.com) (www.cementequipment.org).

Baca juga: Jenis – Jenis Limbah Cair

Portofolio bahan bakar dan nilai kalor

Komposisi AF menentukan performa. Biomassa kering ~15–20 MJ/kg (batu bara ~24 MJ/kg) (www.intechopen.com), sedangkan TDF dari ban ~30–36 MJ/kg namun membawa ~20% Zn dan logam lain (www.intechopen.com). Ragam AF mencakup RDF dari sampah kota, plastik, solvent bekas, minyak, serta sludge (www.intechopen.com) (www.cementequipment.org).

Dampak operasional kiln dan preheater

Moisture (kadar air) di AF membebani preheater. Setiap 1 ton air di bahan bakar harus diuapkan di kiln, menyerap ~2,26 MJ (latent heat/panas penguapan) dan menambah beban gas buang. Studi pabrik mencatat AF berkelembapan tinggi membutuhkan kapasitas induced-draft/ID fan (kipas hisap) lebih besar dan bisa mendinginkan nyala api (www.mdpi.com). Putaran ID fan sering jadi bottleneck, suhu nyala turun seiring kenaikan moisture (www.mdpi.com), sehingga banyak pabrik mengeringkan biomassa (dengan panas buangan) atau memilih AF rendah moisture.

Karakter pembakaran berubah. Volatile tinggi di main burner memanjangkan flame (nyala) dan menurunkan puncak suhu (www.cementequipment.org). Titik terpanas bergeser sedikit ke hilir, zona pendinginan awal membesar, dan efisiensi burnout turun bila udara/bahan bakar tak ditata ulang (www.cementequipment.org). Uji AMP menunjukkan furnace harus retuning rasio udara/bahan bakar, dan sering menambah secondary air atau memakai multi-olet burner agar AF tercampur di inti nyala.

Variabilitas bahan bakar dan pengumpan

AF heterogen: nilai kalor, ukuran partikel, dan komposisi bisa berubah batch ke batch (www.mdpi.com). Operator kerap “menambat” stabilitas dengan menyisakan porsi batu bara atau fuel oil sebagai buffer (www.mdpi.com). Kontrol aliran massa jadi krusial: gravimetric feeder (screw conveyor di atas load cell) memberi kendali suplai AF yang lebih baik (www.mdpi.com).

Untuk pneumatic feeding, jalur harus sesingkat dan selurus mungkin guna mencegah blockage; kecepatan tipikal 25–40 m/s dengan beban <4 kg bahan bakar/kg udara (www.mdpi.com). Titik injeksi dekat burner atau di precalciner meminimalkan kebocoran udara dan lag bahan bakar (www.mdpi.com) (www.mdpi.com).

Profil panas dan peran precalciner

Substitusi AF menggeser profil suhu. Low-calorific waste cocok di precalciner, sedangkan limbah berenergi tinggi (ban, minyak) bisa menggantikan batu bara di main burner. Banyak kiln modern membakar hingga ~60% panas di calciner (ruang pembakaran pendahuluan) pada 800–900 °C, meningkatkan efisiensi kalsinasi raw meal, namun inlet kiln harus tetap panas untuk menghindari cold rings (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov) (www.mdpi.com). Banyak pabrik menambah stage precalciner (5–6 stage) agar pembakaran AF lebih robust; penambahan 5th cyclone stage dapat menurunkan konsumsi bahan bakar ~200 kJ/kg klinker (500 kcal/t) lewat peningkatan heat recovery (www.mdpi.com).

Baca juga: Teknologi Pengolahan Limbah Cair

Kualitas klinker dan kimia abu

Lebih dari 95% abu bahan bakar ikut masuk ke klinker (www.intechopen.com), sehingga kimianya memengaruhi produk. Biomassa kayu (kaya Ca, K) dapat menaikkan alkali; umumnya aman hingga batas tertentu, tetapi alkali berlebih (>0,6–1,0% K₂O+Na₂O di raw meal) atau klorin (>0,1%) memicu build-up kiln atau isu durabilitas semen (www.intechopen.com) (www.cementequipment.org). Praktiknya, input chloride dibatasi: panduan empiris menyarankan memasang bypass duct bila total Cl >0,3–0,4 kg/t klinker (≈50% AF @ 0,5% Cl) untuk mencegah preheater ring (www.mdpi.com).

AF membawa unsur jejak seperti P dan S (sludge domestik P₂O₅ ~4–5%), serta Cl dan Zn dari plastik/ban. ZnO dan F bertindak sebagai mineralizer/flux; hingga ~0,2–0,5% ZnO masih dapat ditoleransi, dan standar kualitas semen biasanya membatasi ZnO ≤0,5%. Karena abu ban ≈20% ZnO (www.intechopen.com), TDF umumnya dipakai terbatas. Eksperimen menunjukkan pembakaran AF menghasilkan kristal C₃S (alite, fase utama dalam klinker) sedikit lebih besar dengan matriks lebih gelas (www.cementequipment.org), yang bisa sedikit memperlambat kekuatan awal dan membuat klinker lebih keras digiling (www.cementequipment.org). Operator berpengalaman mengompensasi lewat penyesuaian raw mix; uji pilot dan operasi continuous memastikan kuat tekan dan waktu ikat tetap sesuai spesifikasi saat substitusi dikendalikan (www.cementequipment.org) (www.cementequipment.org).

Contoh domestik: PCC Indonesia yang memakai AF diukur 494 kg CO₂/t, jauh di bawah semen konvensional (800 kg/t) (www.antaranews.com)—mengisyaratkan mutu tetap terjaga dengan bahan bakar limbah.

Emisi udara dan kendali

Dalam kondisi kiln yang panas (≥1450 °C) dan oksidatif, AF mencapai burnout setara batu bara bila pencampuran baik. Dengan tuning burner yang tepat, emisi CO, NOₓ, SO₂, dan dioksin umumnya tetap dalam batas (www.cementequipment.org). Co-processing AF kerap menurunkan NOₓ melalui efek “reburn” di calciner dan lewat penurunan suhu nyala (www.intechopen.com).

Uji emisi sering menunjukkan tak ada perubahan berarti pada NOₓ/CO₂ saat RDF disubstitusi, dan dioksin tetap minimal berkat suhu ≥850 °C dan waktu tinggal >2 s sebagaimana dipersyaratkan regulasi limbah (www.cementequipment.org) (www.mdpi.com). Namun, AF dapat menaikkan partikulat atau hidrokarbon bila pembakaran tak lengkap; efisiensi baghouse harus dijaga. Logam volatil tinggi (mis. Hg di solvent, Cd/Pb di sludge) bisa lolos sebagian (www.mdpi.com), sehingga pabrik modern memakai bag filter unggul dan—bila perlu—penjerap Hg. Banyak pabrik juga menginjeksikan activated carbon; media activated carbon ini efektif menangkap Hg di gas buang sebagaimana praktik yang dicatat dalam studi (www.mdpi.com).

Untuk SO₂/HCl, muatan kiln yang basa menyerapnya: klorida dan sulfat banyak yang terikat di klinker/debu (www.cementequipment.org). Emisi debu kiln yang memakai AF serupa rendahnya (<20 mg/Nm³ tipikal) karena ESP/baghouse modern menangkap >99%. Logam non-volatil (Al, Fe) berakhir di klinker; logam volatil (mis. merkuri dari waste oils) bersiklus dengan alkali dan sebagian ikut debu. Kiln semen menunjukkan >90% retensi logam, tetapi Hg bisa lolos (kadar Hg cerobong tipikal ~1–2 µg/Nm³) (www.mdpi.com).

Peringatan penting: satu studi co-incineration sludge domestik mencatat kenaikan PAH dan logam berat (terutama Cd/Pb) di fly ash, serta peningkatan kadar ambien di hilir angin (www.mdpi.com). Implementasi limbah khusus semacam ini mensyaratkan pembersihan gas buang dan pemantauan yang ketat; dalam praktiknya, pabrik semen mematuhi standar emisi setara insinerator dengan bagfilter, scrubber atau SNCR/SCR untuk NOₓ sesuai kebutuhan.

Dampak CO₂ dan intensitas karbon

AF berbasis biomassa dianggap karbon‑netral di banyak skema akuntansi karena CO₂‑nya berasal dari fotosintesis (www.cementequipment.org). Artinya, mengganti batu bara/petcoke dengan biomassa dapat memangkas CO₂ bersih ~100% pada porsi bahan bakar. Analisis terbitan menyebut tiap 1% bahan bakar fosil yang diganti AF menurunkan ≈2–3 kg CO₂ per ton semen (www.cementequipment.org).

Kasus Indonesia: TSR 7,56% Semen Indonesia berkorespondensi kira-kira dengan penurunan intensitas CO₂ sebesar 38% (494 vs 800 kg/t), meski sebagian penurunan juga berasal dari substitusi klinker yang lebih tinggi (mis. fly ash) (www.antaranews.com) (www.antaranews.com). Pengguna AF terdepan secara global (Polandia 60–85% AF) menikmati penghematan CO₂ sebanding.

Modifikasi burner dan sistem preheater

Cara Mengubah Sampah Jadi Tenaga: Kiln Semen Mulai Mengganti Batu Bara dengan Bahan Bakar Alternatif

Feeding AF menuntut konveyor, hopper, dan feeder baru. Sistem yang lazim: enclosed screw conveyor atau drag‑chain yang memberi makan gravimetric feeder (load cell) (www.mdpi.com). Jalur pneumatic harus sesingkat dan selurus mungkin, dengan kecepatan ~25–40 m/s dan desain dense phase untuk menghindari pulsasi (www.mdpi.com). Semua jalur ke burner atau calciner rapat (rotary airlock/double valve); misalnya rotary valve 3‑chamber atau double‑pendulum valve disarankan untuk feeder AF (www.mdpi.com).

Pada burner, geometri diadaptasi. Banyak pabrik memasang burner AF khusus (Pillard Rotaflam, M.A.S., KHD Pyrojet) atau memodifikasi burner dengan pipa injeksi sentral (www.mdpi.com). Prinsip kunci: injeksi AF secara sentral (atau nozzle “jacket” paralel) agar masuk inti flame (www.mdpi.com). Pipa supply pneumatic diarahkan lurus ke burner, stasiun dosing dekat throat untuk mencegah blockage (www.mdpi.com). Udara konveyansi dijaga minimal agar tidak mendinginkan nyala; konfigurasi co‑annular/multi‑olet umum dipakai. Secara umum, hingga ~4 kg AF per kg burner air digunakan untuk menghindari pulsasi (www.mdpi.com).

Di preheater/calciner, kunci TSR tinggi adalah adanya precalciner in‑line. Penambahan calciner burner (hilir cyclone ke‑4) memungkinkan >50% panas dibakar pada 800–900 °C sehingga AF volatile tinggi mudah menyala. Feeding AF ke calciner memakai jalur terpisah; jalur pneumatic ke calciner menggunakan baja tahan suhu dan lebih lambat (15–20 m/s), sedangkan gravity feed butuh konveyor tertutup untuk meminimalkan kebocoran udara (www.mdpi.com) (www.mdpi.com). Prosedur shutdown darurat: hentikan suplai AF seketika dan biarkan fan tetap berjalan singkat untuk purge line (www.mdpi.com). Untuk input klorin tinggi, dipasang alkali bypass duct dari cyclone exhaust ke stack guna mencegah ring formation (www.mdpi.com); banyak pabrik juga menginjeksikan batu kapur atau kapur (CaO) di calciner untuk menetralkan Cl dan S.

Fans dan cyclone ikut terdampak. AF yang lebih lembap dan berdebu menuntut upgrade daya ID fan atau fan tambahan untuk menjaga draft. Baffle cyclone mungkin didesain ulang untuk menangani partikulat dari RDF. Menambah 1–2 stage cyclone (mis. dari 4 ke 5 atau 6) menurunkan temperatur gas buang dan meningkatkan energy recovery; kasus modernisasi yang dikutip menunjukkan penurunan heat use ~200 kJ/kg klinker saat beralih dari 4 ke 5 stage (www.mdpi.com).

Kontrol dan monitoring ditingkatkan. AF memerlukan analisis bahan bakar dan kontrol canggih, termasuk pemindaian real‑time (XRF) pada RDF masuk untuk memantau Cl, moisture, dan parameter agar tetap pada setpoint (www.cementequipment.org) (www.mdpi.com). Continuous emission monitors/CEMS menjadi standar di stack.

Ekonomi co‑processing dan kapasitas regional

Co‑firing biomassa/limbah umumnya menurunkan biaya bahan bakar dan CO₂, tanpa efek buruk pada emisi stack normal (www.cementequipment.org) (www.cementequipment.org). Namun, sistem pembakaran (burner, feeder, calciner) perlu dirancang cermat, dengan kapasitas ekstra untuk moisture dan bypass untuk klorida. Studi konsisten menemukan bahwa, dengan modifikasi ini, kualitas klinker tetap terpenuhi dan performa lingkungan bahkan membaik (mis. CO₂ turun, NOₓ stabil atau lebih rendah) (www.cementequipment.org) (www.cementequipment.org).

Untuk Vietnam atau Indonesia yang mempertimbangkan AF, analisis ketersediaan limbah lokal (mis. cangkang sawit, sekam padi, MSW) dan investasi pada pre‑process (shredding/drying) plus upgrade kiln mengikuti contoh praktik terbaik direkomendasikan.

Baca juga: Media Filtrasi : Sand Filter, Carbon Filter dan Iron Filter

Sumber

Sumber: Peer‑reviewed dan data industri sebagaimana dikutip: (www.cementequipment.org) (www.intechopen.com) (www.antaranews.com) (www.thejakartapost.com) (www.cementequipment.org) (www.mdpi.com) (www.mdpi.com) (www.mdpi.com) (www.cementequipment.org), plus regulasi dan laporan perusahaan (www.thejakartapost.com).

Chat on WhatsApp