Di pabrik semen modern, NOx ditekan dengan kombinasi modifikasi pembakaran dan injeksi reagent, SO₂ “terscrub” oleh kapur di dalam proses, sementara debu didorong turun ke level miligram per Nm³ oleh baghouse. Angkanya tegas: LNB 0–30%, SNCR ~55–60%, penangkapan sulfur 50–95%, dan partikulat single digit mg/Nm³.
Industri: Cement | Proses: Kiln_Firing
Industri semen bergerak menuju batas emisi yang makin ketat—bukan dengan satu alat pemukul, melainkan paket teknologi yang saling melengkapi. Low-NOx burners (LNB, burner yang memodifikasi bentuk nyala untuk menurunkan puncak temperatur dan ketersediaan oksigen) memberi penurunan sedang, sementara selective non‑catalytic reduction (SNCR, injeksi amonia atau urea ke gas panas untuk mereduksi NOx menjadi N₂ dan H₂O) yang dipasang di preheater menyumbang pukulan telak. Di sisi sulfur, bahan baku alkali bertindak sebagai “scrubber” internal; dan untuk debu, fabric filter/baghouse menurunkan partikulat ke level miligram per Nm³.
Fakta lapangan berbicara. Data industri menunjukkan LNB kerap hanya memangkas 0–30% NOx, bahkan di kondisi optimal sekitar ~30% dan kerap tanpa penurunan terukur di setengah kiln yang diretrofit (cementequipment.org). Sebaliknya, SNCR yang diinjeksikan pada 850–1050 °C lazimnya menurunkan 30–60%, dengan pengalaman Korea konsisten di 55–60% dan uji pilot ~55% pada rasio NH₃/NOx ~1,0 serta slip amonia minimal (mdpi.com).
Baca juga: Jenis – Jenis Limbah Cair
Pembentukan NOx dan langkah kendali
NOx (nitrogen oxides) di kiln semen terbentuk terutama dari nitrogen pada udara pembakaran di suhu tinggi (thermal NOx) dan nitrogen dalam bahan bakar (fuel NOx). Strategi kendali umumnya menggabungkan langkah primer (modifikasi pembakaran) dan langkah sekunder pasca‑pembakaran.
LNB merancang ulang geometri nyala untuk menekan puncak temperatur dan ketersediaan O₂. Efektivitasnya, menurut data industri, berkisar 0–30%—sekitar ~30% di kondisi optimal dengan baseline sangat tinggi, dan sebuah survei lapangan mendapati separuh kiln yang dipasangi LNB tidak menunjukkan penurunan NOx terukur (cementequipment.org). Bahkan pada sistem yang dirancang baik, LNB biasanya hanya menurunkan konsentrasi ke ratusan mg/Nm³ (contoh 600–1000 mg/Nm³) (cementequipment.org), yang kerap belum cukup menghadapi limit ketat.
Konteks regulasi menegaskan tantangan itu: pabrik baru di Korea dibatasi ~270 ppm (≈700 mg/Nm³), sementara banyak yurisdiksi kini menarget 200–400 mg/Nm³ (mdpi.com, mdpi.com). Ringkasnya, LNB terutama meredam lonjakan puncak, tetapi dalam praktik sering “jarang” mencapai penurunan dua digit persen secara konsisten (cementequipment.org, mdpi.com).
SNCR di preheater 850–1050 °C
SNCR (Selective Non‑Catalytic Reduction) menyuntikkan reagent pereduksi NOx—umumnya amonia atau urea—ke gas buang panas di preheater pada 850–1050 °C. Reaksi utama mengubah NOx menjadi N₂ dan H₂O. Dengan penalaan yang tepat (lokasi injeksi dan laju alir reagent), kinerja tipikal berada di 30–60%; pengalaman Korea reguler 55–60% (mdpi.com), dan pilot terbaru ~55% pada rasio NH₃/NOx ~1,0 dengan slip amonia (ammonia slip, NH₃ tak bereaksi yang lolos ke cerobong) minimal (mdpi.com).
Secara teoretis (dirujuk literatur teknik), penghilangan dapat mendekati ~95% jika SNCR dikombinasi dengan proses katalitik, tetapi praktik SNCR murni jarang melampaui ~60% (mdpi.com). Kunci performa adalah jendela temperatur dan pencampuran; overdosis reagent justru memicu ammonia slip dan efek plume (mdpi.com, mdpi.com). Kontrol presisi laju reagent terbantu oleh peralatan injeksi dan metering; misalnya, pemakaian pompa dosis kimia dengan akurasi tinggi seperti dosing pump membantu menjaga rasio NH₃/NOx tetap stabil tanpa klaim tambahan di luar data uji.
Secara penerapan, SNCR menjadi kendali “tail‑end” di sekitar separuh kiln Uni Eropa dan hampir semua proyek baru di AS; sementara SCR (Selective Catalytic Reduction, >90% penghilangan) tetap jarang karena biaya.
Trade‑off LNB vs SNCR dan hasil tipikal
LNB pada dasarnya menambah belanja modal (capex) tanpa konsumsi bahan kimia, tetapi penurunan NOx-nya terbatas (cementequipment.org). LNB kerap dipasangkan dengan staged combustion atau indirect firing untuk mendekati ~50%. SNCR memberikan penurunan lebih besar dengan konsekuensi biaya reagent (urea/amonia) dan pengendalian temperatur.
Hasil tipikal: ~30% dengan LNB, dan ~50–60% tambahan lewat SNCR di atasnya (cementequipment.org; mdpi.com). Di Korea, pabrik yang memakai keduanya kini berada pada kisaran “beberapa ratus” mg/Nm³ NOx, dan trennya menurun dari tahun ke tahun (mdpi.com).
Baca juga: Teknologi Pengolahan Limbah Cair
Penyerapan SO₂ oleh bahan baku alkali

SOx (sulfur oxides) di kiln semen terutama berasal dari sulfur dalam bahan bakar dan sebagian kecil dari bahan baku. Keunikan proses semen: bahan baku itu sendiri melakukan “in‑situ scrubbing”. Kalsit/kapur (CaCO₃) terdekomposisi menjadi CaO (kalsinasi) yang reaktif terhadap SO₂ membentuk CaSO₃/CaSO₄ di matriks klinker atau debu kiln, sehingga kiln “secara inheren” menyerap sebagian besar sulfur bahan bakar.
Ulasan teknik menyebut, bahkan tanpa scrubber ujung pipa, kiln tipikal menahan mayoritas input sulfur. Satu ulasan otoritatif melaporkan kiln “paling tidak efektif” pun masih menangkap ~50% sulfur, sementara efisiensi 90–95% lazim pada sistem preheater/precalciner modern (cementequipment.org). Efisiensi tinggi khususnya terjadi saat memakai in‑line raw mill—kalsium karbonat/oksida halus di gas panas mill bertindak sebagai sorben SO₂; operasi in‑line mill kerap memangkas SO₂ cerobong 40–60% ketika beroperasi (cementequipment.org).
Secara praktis, emisi SO₂ biasanya rendah. Survei mencatat level SO₂ “raw” dari 10 hingga ~3500 mg/Nm³ dalam kasus ekstrem (cementequipment.org), tetapi ujung ekstrem itu banyak terkait skenario bahan baku sangat tinggi sulfur. Dalam operasi stabil dengan bahan bakar rendah sulfur, SO₂ cerobong sering di bawah ~200–400 mg/Nm³.
Jika bahan bakar bersulfur lebih tinggi, strategi proses terintegrasi dapat menambah penyisihan: misalnya recirculation umpan terkalsinasi (proses “DeSOx” FL Smidth) mengeluarkan fraksi 25–30% SO₂ dengan mengalirkan kembali CaO panas ke bagian atas preheater (cemenequipment.org), atau alkali bypass loop (“Gas Suspended Absorption”) yang mendaur debu kaya kapur sebagai sorben. Namun bahkan tanpa itu, kimia dasar kiln bertindak sebagai dry scrubber internal.
Dari sisi kebijakan, banyak pasar matang membatasi SO₂ di 200–500 mg/Nm³ (globalcement.com). Indonesia, misalnya, pernah diusulkan/pertimbangkan limit sekitar 800 mg/Nm³ (dan 400 mg/Nm³ pada kasus tertentu) (globalcement.com). Dalam praktik, kiln Indonesia yang terkelola baik dengan kadar pirit besi tipikal umumnya bisa memenuhi limit tersebut lewat penangkapan inheren. Singkatnya, berbeda dari PLTU batu bara, sebagian besar SO₂ semen berasal dari sulfur bahan baku, dan CaO di kiln “mengunci” sebagian besar emisi potensial itu.
Kontrol partikulat: baghouse vs. electrostatic precipitator
Gas buang kiln membawa partikel padat (cement kiln dust/CKD). Dua teknologi universal untuk menahannya adalah fabric filter (baghouse) dan electrostatic precipitator/ESP. Sistem modern mencatat >99% penyisihan; partikulat cerobong lazimnya di angka satuan miligram per Nm³—bahkan filter keramik kini dapat memangkas emisi ke “beberapa mg/Nm³” (cemenequipment.org).
Teknologi terbaru bisa mencapai sub‑mg: satu upgrade fabric filter menurunkan debu dari ~22 mg/Nm³ ke ~1 mg/Nm³ (nordic-air-filtration.com). Tanpa ekstrem itu pun, kiln ber‑baghouse rutin berada di 1–30 mg/Nm³ (worldcement.com).
Sebaliknya, ESP tradisional—terutama unit besar lawas—umumnya berada di 50–100 mg/Nm³ dan dalam kasus terbaik sekitar ~30–50 mg/Nm³ (worldcement.com). Tren global bergerak ke fabric filtration, sejalan dengan banyak yurisdiksi yang kini menuntut <30 mg/Nm³ (dan di beberapa wilayah “ultra‑low emission” China, <10 mg/Nm³). Pilihannya bergantung skala dan karakter debu: baghouse lebih tahan variasi kelembapan dan alkali, dengan konsekuensi pressure drop dan perawatan lebih tinggi; ESP bisa ekonomis di skala raksasa namun sensitif ke resistivitas dan kelembapan. Dalam praktik, banyak line kiln baru/retrofit kini menspesifikasi pulse‑jet baghouse untuk kiln dan clinker cooler.
Angka kunci: baghouse modern tipikal <30 mg/Nm³, sering satuan mg (worldcement.com); ESP, jika dipakai, berada di ~30–50 mg/Nm³ pada kasus terbaik. Apa pun pilihannya, teknologi saat ini mendorong debu cerobong ke level miligram per Nm³ (cemenequipment.org, worldcement.com, nordic-air-filtration.com). Tren regulasi mengonfirmasi: limit AS/EU untuk kiln semen sering di 10–20 mg/Nm³ (basis 10% O₂). Di Indonesia, fasilitas ber‑baghouse umumnya memenuhi limit “puluhan mg/Nm³”.
Baca juga: Media Filtrasi : Sand Filter, Carbon Filter dan Iron Filter
Regulasi, angka target, dan implikasi biaya
Integrasi LNB dan SNCR realistis menurunkan NOx setidaknya separuh—dari misalnya 1000+ mg ke “beberapa ratus” mg/Nm³—sementara kimia CaO di kiln secara inheren menyerap sebagian besar SO₂ (sering memangkas potensi emisi ~50–90%). Debu ditekan mendekati “nyaris nol” oleh baghouse dengan efisiensi >99%. Teknologi‑teknologi ini matang; keputusan investasi sebaiknya menimbang capex/opex—mulai konsumsi urea/amonia pada SNCR hingga energi dan perawatan baghouse—dibanding tekanan regulasi serta target emisi jangka panjang.
Rujukan data dan tren: limit NOx lazim kini 200–400 mg/Nm³ (mdpi.com), mendorong adopsi SNCR. Pabrik terdepan di UE menarget 200 mg/Nm³ (fakta 2018) (globalcement.com). Laporan industri mengutip penurunan NOx ≤30% via LNB (cementequipment.org) versus ~55–60% via SNCR (mdpi.com). Untuk SO₂, kisaran “raw” 10–3500 mg/Nm³ pernah dilaporkan (cemenequipment.org), tetapi penangkapan inheren tinggi—50–95% (cemenequipment.org)—ditambah in‑line mill/recirculation yang mampu memberi tambahan 40–60% penurunan saat beroperasi (cemenequipment.org, cemenequipment.org). Emisi PM kini umum di 1–30 mg/Nm³ dengan filter modern (worldcement.com, cemenequipment.org).
