Di pabrik pulp modern, kulit kayu bukan lagi beban. Dengan kandungan energi 15–17 MJ/kg, bark diubah menjadi uap dan listrik, meski penanganannya basah, abrasif, dan bandel.
Industri: Pulp_and_Paper | Proses: Woodyard_&_Chip_Preparation
Pabrik pulp memproduksi aliran residu kayu besar—terutama kulit kayu (bark) dari proses debarking yang dikenal sebagai “hog fuel”, plus serbuk gergaji, screening rejects, dan lainnya. Angkanya tidak kecil: 100–300 kg bark per ton pulp kering (≈10–30% massa) (bioresourcesbioprocessing.springeropen.com). Secara spesies, softwoods umumnya menghasilkan 5–15% bark dan hardwoods 5–20% (researchgate.net).
Dengan kapasitas pulp kimia global sekitar 180 juta ton/tahun pada 2022 (valmet.com), itu berarti 10⁷–10⁸ ton bark per tahun di seluruh dunia. Bark berbeda dari kayu bersih: kandungan ash mineralnya tinggi (biasanya 5–10% ash, kaya kalsium dan silika) (researchgate.net), dan fixed carbon‑nya lebih tinggi (lebih banyak lignin) daripada kayu (researchgate.net; frontiersin.org).
Kulit kayu juga sangat basah—log yang baru didebark sering >50% air; pada satu contoh, campuran bark dan chips mencapai ~33% kadar air (wet basis) (ej-energy.org). Nilai kalor kotor (HHV) bark as-fired berada di kisaran 3.000‑4.000 kcal/kg (≈15–17 MJ/kg) (ej-energy.org)—sekitar sepertiga batu bara (lihat Tabel I di ej-energy.org). Sifat abrasif akibat debu dan grit tanah mempercepat korosi peralatan.
Pembakaran bark sebagai arus energi utama
Di pabrik kraft, bark dan residu kayu adalah biomassa terbesar kedua setelah black liquor (theconiferous.com). Pembakaran black liquor di recovery boiler biasanya menghasilkan sekitar 4 ton uap per ton pulp (theconiferous.com), membuat banyak pabrik mandiri energi. Boiler bark melengkapinya—contohnya Metsä Fibre di Finlandia melaporkan 176% kemandirian energi dan mengekspor listrik/panas berlebih, berkat pembakaran black liquor dan hog fuel (metsagroup.com). Sisanya, bark umumnya dialokasikan untuk energi.
Praktiknya sederhana: bark digiling/dicacah menjadi “hog fuel” dan dibakar di boiler biomassa (stoker atau fluidized‑bed) untuk menghasilkan uap proses atau listrik melalui back‑pressure turbine (turbine yang memanfaatkan uap bertekanan balik untuk proses). Studi sebuah boiler di Indonesia menunjukkan campuran bark–wood chips (≈33% kadar air) dengan 30% excess air menghasilkan ~35 ton/jam uap pada pembangkit 1×7 MW (ej-energy.org), konsumsi bahan bakar ~16,8 ton/jam untuk 24,3 MW panas uap dari ~28,8 MW input (≈84,6% efisiensi termal boiler) (ej-energy.org). Di kasus lain, bark dari ~3,6 juta m³ pulpwood diarahkan ke fluidized‑bed CHP (combined heat and power—pembangkit panas & listrik terintegrasi) bersama bahan bakar lain (mdpi.com).
Dengan ash bark yang tinggi, temperatur puncak pembakaran dibatasi—bark lazimnya untuk uap bertekanan rendah atau air panas (frontiersin.org). Meski nilai kalor kalah dari batu bara (contoh 32,9% kadar air: ~3.800 kcal/kg ≈16 MJ/kg; batu bara ~11.300 kcal/kg ≈3× lebih tinggi) (ej-energy.org), bark menghilangkan biaya bahan bakar dan landfill, dan di banyak pabrik menutup porsi signifikan kebutuhan uap di luar recovery boiler.
Dari sisi emisi, CO₂ bark bersifat biogenik (asal hayati) sehingga umumnya dianggap karbon‑netral. Studi di pabrik pulp Tiongkok menunjukkan sebagian besar CO₂ berasal dari boiler biomassa (bark dan black liquor), sementara kiln kapur memakai gas/minyak fosil (frontiersin.org). Namun partikel, NOx (nitrogen oksida), dan dioxins tetap harus dikendalikan—di fasilitas pertambangan/industri, batas emisi biomassa cenderung lebih ketat; data rinci emisi pabrik Indonesia terbatas, tetapi boiler biomassa modern memakai cyclone, ESP (electrostatic precipitator), dan penyaring gas buang untuk patuh regulasi.
baca juga:
Pengertian dan Pengaruh TDS dan TSS Terhadap Kualitas Air
Co‑firing, gasifikasi, dan bahan bakar lanjut
Sejumlah pabrik mencampur bark dengan batu bara. Co‑firing bark–coal di circulating fluidized bed (CFB) dapat meningkatkan performa boiler; sebuah studi menunjukkan kenaikan efisiensi yang moderat, terutama di pabrik kecil. Pabrik lain mengeksplorasi gasifikasi bark untuk memproduksi syngas, misalnya untuk kiln kapur atau biofuel (valmet.com; frontiersin.org). Valmet mencatat bark yang dikeringkan dapat memberi makan gasifier atau dipellet (valmet.com).
Jalur lain adalah torrefaction atau pyrolysis. Literatur (mis. Nosek et al. 2016) membahas biofuel kaya bark (researchgate.net), sementara ulasan Indonesia menyorot pyrolysis limbah kayu menjadi bio‑oil/biochar sebagai rute baru—meski mayoritas studi pada biomassa sawit (sciencedirect.com).
Di luar pembakaran, jalur non‑energi tetap ada: sebagian pabrik dan industri kayu mem‑pellet serbuk gergaji dan bark untuk bahan bakar pemanas. Ekspor pellet Indonesia (dari serbuk gergaji) signifikan secara global (indonesiawoodpellet.com), meski kandungan bark tidak jelas. Bark juga menjadi mulsa atau soil amendment; di Finlandia ada “bark mulching plants” yang memproduksi mulsa hortikultura dan filler panel dari bark (paperandwood.com). Produk niche seperti plester luka atau biochar dari bark juga disebut, meski volumenya kecil.
Dalam konteks utilitas uap, fasilitas industri lazim menjaga kualitas air/steam cycle agar stabil. Di tingkat praktik, pengkondisian sisi air ketel dapat mencakup bahan kimia scavenger oksigen seperti oxygen scavengers untuk mengurangi korosi, dan unit demineralizer untuk menghasilkan air umpan bebas mineral. Catatan ini bersifat umum pada operasi industri dan melengkapi fokus utama pada bark‑boiler.
Boiler bark: desain, angka, dan operasi
Boiler bark modern biasanya bertipe moving grate atau fluidized‑bed. Bahan bakar kasar dan basah ini perlu bark hog (alat pencacah bark) lalu diumpan via konveyor atau screw feeder ke ruang bakar. Setelah pengeringan in‑furnace, bark terbakar menghasilkan gas buang ≈1.000–1.500 °C (zona pembakaran) (ej-energy.org), memanaskan drum uap seperti boiler industri lainnya.
Kinerja lapangan solid: contoh Indonesia (7 MW) menunjukkan ~84,5% efisiensi pada campuran bark/chips (ej-energy.org). Di skala besar, Äänekoski (Metsä Fibre) mencapai 176% kemandirian energi melalui boiler biomassa (termasuk bark) plus recovery (metsagroup.com). Bahkan di negara berkembang, mengganti 10% batu bara dengan bark dalam analisis energi memperlihatkan potensi penghematan biaya bahan bakar dan pemangkasan CO₂.
Dari hitungan kasar, pembakaran 1 ton bark as‑fired (≈35–60% kadar air) bisa menghasilkan ~0,6–1,0 ton uap (tergantung desain). Pada studi Medco, 16,8 ton/jam bahan bakar basah menghasilkan 35 ton/jam uap—≈2,1 ton uap per ton bahan bakar yang diumpan (ej-energy.org). Di basis kering (≈11,3 MW·h/ton bahan bakar pada 3.800 kcal/kg), konversi HHV ke entalpi uap ~75–80%. Secara ekonomis, pemanfaatan bark biasanya balik modal cepat karena bahan bakar ini pada dasarnya “gratis” (produk samping pabrik). Satu contoh di Indonesia, sebuah perusahaan (RAPP) berinvestasi besar di listrik biomassa (CHP 20 MW plus boiler kogenerasi) untuk mengurangi konsumsi diesel/batu bara.
Tantangannya nyata: ash bark yang kaya alkali meningkatkan potensi slagging dan korosi—desain furnace harus mengakomodasi (temperatur lebih rendah, pembersihan clinker rutin). Partikulat perlu ditangani oleh cyclone/ESP. Dalam praktik, banyak pabrik menambah residu kayu lain (end trims, sludge, dll.) atau batu bara saat start‑up untuk menstabilkan pembakaran. Di sisi siklus uap, polishing kondensat membantu menekan pengotor; di aplikasi industri tersedia solusi seperti condensate polisher untuk menjaga kemurnian kondensat.
Baca juga: Pengolahan Limbah Secara Kimia
Penanganan dan konveyor: sifat fisik bark
Sebagai bulk solid “Kelas 3” (flaky, fibrous, hygroscopic), bark/hog fuel memiliki flowability yang buruk (mdpi.com). Bark basah dan berserat mudah bridging dan menyumbat; ia sulit lewat hopper atau conveyor pneumatik (mdpi.com; mdpi.com). Kadar air tinggi menaikkan kohesi dan kompresibilitas internal (mdpi.com), membuat material menumpuk pada konveyor dan screw feeder.
Kontaminasi pasir/kerikil dari log yard membuat bark abrasif: chute, konveyor, dan grinder cepat aus. Laporan lapangan menyebut sprocket dan screw perlu hard‑facing atau ceramic liner untuk menahan aus (bulk-online.com; paperandwood.com). Satu sumber industri pulp mencatat umur sprocket dapat >2× saat menggunakan overlay tahan abrasi (paperandwood.com). Debu bark menyusup ke bearing idler dan memicu slugging di belt (flexco.co.za).
Masalah spesifik lain: carryback dan spillage. Serpihan bark menempel di belt, jatuh di titik transfer—bahaya kebakaran. Pabrik memasang belt cleaner, skirting, dan konveyor tertutup. Catatan dari vendor: cleated belt sulit disegel di chute sehingga rawan spillage dan sulit dibersihkan (flexco.co.za). Solusi konveyor yang sering dipilih meliputi belt (datar/inklinasi) dan drag/slat conveyor; screw dipakai untuk jarak pendek namun rawan bridging; sejumlah pabrik memakai water‑flume conveyor atau menangani bark dalam kondisi basah untuk menekan debu.
Debu fines bark juga bersifat combustible—risiko dust explosion ada, meski kadar air menurunkannya. Fasilitas menerapkan koleksi debu dan kebijakan tanpa merokok di area penyimpanan/konveyor. Pada penyimpanan, tumpukan bark basah dapat self‑heating akibat aktivitas mikroba; studi menunjukkan ~2–4% susut massa kering per bulan selama penyimpanan, terutama saat tercampur sludge (link.springer.com; link.springer.com). Praktiknya, tumpukan diberi ventilasi atau silo dan beberapa pabrik melakukan pra‑pengeringan/bark press; Valmet menawarkan belt dryer untuk menurunkan kadar air—bark kering lebih mudah mengalir dan nilai kalor meningkat (valmet.com).
baca juga: Media Filtrasi : Sand Filter, Carbon Filter dan Iron Filter
Hasil numerik dan arah kebijakan
Analisis energi pabrik yang membakar bark konsisten menunjukkan surplus energi. Pada kasus Medco di Indonesia, kogenerasi 7 MW dari bark/chips menggantikan sekitar 4,45 MW ekuivalen batu bara, menghasilkan ~25 MW panas uap yang terpakai (ej-energy.org). Global, banyak pabrik terintegrasi menarget kemandirian energi dengan membakar seluruh black liquor dan residu kayu (metsagroup.com; frontiersin.org). Di banyak lokasi, >90% bark yang dihasilkan di‑in‑mill dibakar untuk energi (kontaminan non‑combustible disaring).
Studi siklus hidup menunjukkan substitusi bark atas bahan bakar fosil memangkas emisi CO₂ sekitar ~90% (karena CO₂ biogenik tidak dihitung) (frontiersin.org). Tren baru melihat bark sebagai feedstock bernilai tambah: biorefinery terintegrasi—gasifikasi bark + black liquor untuk biofuel, dengan pulp sebagai coproduct (frontiersin.org; frontiersin.org). Di Indonesia, biomassa menjadi prioritas kebijakan energi nasional (target EBT ~23% pada 2025; biomassa prioritas kedua setelah surya) (fwi.or.id). PLN berencana co‑firing serbuk gergaji, wood pellet, dan chips—secara implisit termasuk bahan bakar asal bark—untuk mengganti 5–10% batu bara (fwi.or.id). Investasi menyusul: pembangkit biomassa 97 MW (menggunakan limbah kayu pabrik pulp) tengah dikembangkan di Riau (power-technology.com).
Kombinasi bark dengan limbah lain (mis. sludge pabrik) untuk co‑firing atau densifikasi (pellet) juga dilaporkan dapat meningkatkan kemudahan penanganan dan menekan susut biologis selama penyimpanan (link.springer.com; link.springer.com).
Baca juga:
Penerapan Sistem Biofilter dalam Pengolahan Limbah Air
Intinya
Bark dan limbah kayu—dulu dianggap gangguan—kini menjadi arus bahan bakar utama pabrik. Pembakaran bark di boiler biomassa adalah rute matang untuk uap dan daya on‑site, sering memangkas hampir seluruh kebutuhan bahan bakar beli. Kunci teknisnya: mengelola kadar air tinggi dan abrasivitas, dengan desain konveyor/feeding yang tepat, pengeringan (belt dryer), dan kontrol debu/emisi. Arah global dan Indonesia mendorong maksimalisasi pemanfaatan bark—bahkan menuju gasifikasi untuk biofuel—selaras agenda ekonomi sirkular (valmet.com; fwi.or.id).
Sumber: ringkasan data dan kajian: yield bark (~100–300 kg/ton pulp) (bioresourcesbioprocessing.springeropen.com); komposisi & energi bark (ej-energy.org; researchgate.net); kinerja pabrik (uap per bahan bakar, efisiensi) (ej-energy.org; metsagroup.com); peralatan & penanganan (valmet.com; flexco.co.za); serta kebijakan/market Indonesia (fwi.or.id; power-technology.com). Semua pernyataan di atas merujuk pada artikel ilmiah, laporan industri, dan sumber pemerintah tersebut.