Koagulasi–flokulasi, disusul klarifikasi atau filtrasi media, terbukti memangkas 80–99% kekeruhan dan konsisten memenuhi target WHO <1 NTU (idealnya ~0,2 NTU dengan filtrasi). Kuncinya: jar testing yang disiplin untuk memilih koagulan dan polimer paling efektif, lalu troubleshooting klarifier yang berbasis data.
Industri: Textile | Proses: Water_Softening_&_Treatment
Di banyak instalasi air baku—dari sungai hingga air tanah dangkal—pretreatment yang paling “return on effort” tetap koagulasi–flokulasi (CF). Inilah tahapan yang membuat partikel koloid tidak stabil (coagulation) lalu menggabungkannya menjadi flok besar yang mudah disisihkan (flocculation). Praktiknya sederhana, biayanya rasional, tetapi hasilnya konsisten: turbiditas turun 80–99% ketika jenis dan dosis kimia tepat—dan itu ditentukan oleh jar test.
Dengan filtrasi lanjutan, operator rutin mengejar target WHO <1 NTU—bahkan <0,2 NTU untuk kebutuhan sensitif (watertech.blog). Di Indonesia, unit PDAM pun mengandalkan CF; standar lokal menuntun target turbiditas ~1 NTU pada air olahan—sementara air baku sungai kerap melonjak puluhan hingga ratusan NTU saat hujan.
Konsekuensinya jelas: CF efektif dan hemat, tetapi menuntut penanganan bahan kimia serta lumpur residu (sswm.info) (watertechnologies.com). Bagi pabrik tekstil, disiplin jar test—bukan tebakan—adalah pembeda antara proses yang stabil dan biaya yang membengkak.
Koagulasi–flokulasi sebagai pretreatment
Koagulan anorganik seperti aluminium sulfat (alum), besi klorida/sulfat, dan polyaluminum chloride (PAC) menetralkan muatan partikel; polimer bermassa molekul tinggi (polielektrolit kationik/anionik, misalnya poly‑DADMAC atau polyamines) kemudian “menjembatani” mikroflok. Handbook Veolia mencatat koagulan umum meliputi alum dan ferric chloride—efektif pada pH 5–11 (watertechnologies.com), sementara polimer kationik lazim dipakai sebagai primary coagulant atau bantuan flok (watertechnologies.com).
Bukti laboratorium memperlihatkan PAC sekitar ~8 mg/L pada pH 8 mampu mencapai ~97,7% penurunan kekeruhan (pmc.ncbi.nlm.nih.gov). Dengan filtrasi, praktik industri konsisten memenuhi WHO <1 NTU—bahkan ideal <0,2 NTU (watertech.blog). Diskusi teknis tentang opsi kimia dapat diikat ke portofolio coagulants dan flocculants yang lazim diterapkan di unit CF.
Baca juga: Apa itu Chemical?
Jar test sebagai kompas dosis

Jar test (uji toples 1–2 L) mereplikasi urutan proses: rapid mix untuk dispersi cepat lalu flocculation dengan adukan lembut, diakhiri pengendapan. Protokol umum: enam bejana 1 L, dosis koagulan bertingkat (sering 10–100 mg/L untuk alum atau PAC) dan, bila dipakai, polimer 0,5–10 mg/L; aduk cepat ~100–200 rpm selama 1–2 menit, lanjut aduk lambat 20–40 rpm selama ~10–15 menit; endapkan 10–30 menit; ukur kekeruhan supernatan dengan turbidimeter nephelometrik (sswm.info) (watertech.blog) (studylib.net).
Kemudian, plotkan turbiditas residu vs. dosis untuk mendapatkan dosis optimum—yakni dosis terendah yang memberi kejernihan target (sering <1 NTU; untuk kualitas tinggi <0,2 NTU) (watertech.blog). Kualitas flok ikut dinilai: “pin floc” menandakan under‑dosing atau perlunya polimer. Karena performa sangat dipengaruhi pH, uji paralel di pH 5–8 lazim dilakukan; satu studi menunjukkan efisiensi PAC memuncak di pH 8 (pmc.ncbi.nlm.nih.gov), sementara alum optimum ≈6–7 (watertechnologies.com).
Hasil jar test dipakai untuk kalibrasi dosis pabrik—misalnya 20 mg/L alum + 2 mg/L polimer yang di-scale up dengan umpan kimia terukur dan turbidimeter in-line sebagai umpan balik (sswm.info). Dosis aktual di lapangan dijaga stabil lewat perangkat seperti dosing pump yang terkalibrasi. Panduan menekankan jar test berkala karena kualitas air baku berubah musim ke musim (studylib.net).
Klarifikasi dan filtrasi media granular
Setelah CF, flok berat disisihkan di unit sedimentasi/klarifier. Sebuah clarifier (kedalaman tipikal 2–4 m, tipe horizontal‑flow atau lamella) memberi waktu tinggal 2–3 jam agar flok mengendap; sasaran efluen tinggal beberapa NTU, dan desain yang baik dengan CF optimal lazim mencapai <5 NTU (sering <1–2 NTU) (pmc.ncbi.nlm.nih.gov) (watertech.blog). Untuk footprint ringkas, modul lamella seperti lamella settler sering dipertimbangkan.
Pada lonjakan kekeruhan sangat tinggi (>500–1000 NTU saat banjir), sedimentasi saja bisa tidak cukup. Riset menunjukkan tiga bak roughing filter beruntun (masing‑masing kedalaman ~90 cm) mampu menurunkan ~97–99%: air baku ≈1100 NTU turun rata‑rata ke 13 NTU dan akhir <10 NTU (iwaponline.com) (iwaponline.com). Satu tahap saja melakukan ~91–95% (1100 NTU menjadi ~50–100 NTU) (iwaponline.com).
Umumnya efluen klarifier lalu dipoles di filter media gravitasi. Konfigurasi dual‑media—anthracite di atas pasir—menangkap sisa flok dan fines; rujukan industri menunjukkan kombinasi CF+filtrasi mampu menjaga turbiditas <0,5 NTU (untuk air minum sering <0,2 NTU) (watertech.blog). Peran polimer penting sebelum filtrasi pasir: ia membesarkan flok agar filter bekerja efisien dan run‑length lebih panjang (watertech.blog). Implementasi tipikal memakai media anthracite di atas pasir silika.
Baca juga: Dissolved Air Flotation
Pertimbangan desain dan pilihan proses
Klarifier butuh lahan dan kendali hidraulik, tetapi andal menghadapi fluktuasi beban; filter media menuntut penentuan dosis yang presisi dan rutinitas backwash. Di lokasi sempit atau kekeruhan ekstrim, beberapa plant menerapkan in‑line coagulation/clarification atau DAF—tetap bertumpu pada koagulan/polimer hasil jar test. Opsi flotasi seperti DAF relevan ketika partikel ringan atau alga dominan.
Target akhir menjadi penentu konfigurasi: untuk memenuhi WHO <1 NTU, kombinasi 20–50 mg/L alum + 0,5–2 mg/L polimer diikuti rapid sand filtration lazim dipakai. Di banyak kasus, pencapaian >90% penurunan turbiditas versus biaya (kimia vs infrastruktur) menjadi trade‑off utama (watertech.blog).
Prosedur jar test (rinci)
Pengambilan sampel: ambil sampel air baku yang representatif dari intake. Setup: isi enam bejana 1 L di alat jar‑tester multi‑posisi dengan pengaduk terukur (watertech.blog).
Dosis koagulan: pilih kandidat (alum, ferric chloride, PAC), siapkan larutan stok segar, beri dosis bertingkat mis. 10, 20, 50, 100 mg/L sambil aduk cepat 100–200 rpm selama ~1–2 menit untuk dispersi (watertech.blog). Dosis polimer: segera setelah rapid mix, tambahkan polimer pada dosis tetap atau bertingkat, lalu beralih ke aduk lambat 20–40 rpm selama ~10–15 menit untuk pembentukan flok; polimer kationik membantu netralisasi muatan, polimer anionik menjembatani mikroflok; uji 0,5–10 mg/L (watertech.blog).
Pengendapan 10–30 menit; amati laju turun dan kejernihan supernatan. Pengujian: ukur turbiditas supernatan dengan turbidimeter terkalibrasi (watertech.blog); jika perlu, warna/organik dilacak via UV254 atau kolorimetri.
Analisis: plot turbiditas vs dosis; identifikasi dosis optimum—biasanya dosis terendah dengan penurunan maksimum mendekati target <1 NTU (sswm.info). Overdose memberi hasil menurun atau “rebound” turbiditas; jika gagal, ulangi dengan koagulan alternatif (mis. beralih dari alum ke PAC atau polyamine). Jar test juga memasukkan penyesuaian pH—misalnya uji paralel di pH 6, 7, 8 (efek pH pada PAC ditunjukkan di rujukan terkait, pmc.ncbi.nlm.nih.gov).
Skala pabrik wajib meniru urutan yang sama (rapid mix → floc mix) dengan waktu tinggal cukup. Parameter intensitas aduk (G‑value) lazimnya ~500–1000 s⁻¹ untuk rapid mix lalu ~30–70 s⁻¹ untuk flocculation; pilih dosis terendah yang konsisten menghasilkan flok besar dan stabil (sswm.info).
Troubleshooting klarifikasi berbasis gejala
Turbitas efluen tinggi (flok tidak mengendap): penyebab utama under‑dosing atau flok pecah. Ulangi jar test, naikkan koagulan atau tambah polimer. Waspadai overdosis: catatan operator menunjukkan koagulan berlebih justru memperbanyak lumpur tanpa menambah kejernihan (lautanairindonesia.com). Contoh nyata: 20 mg/L alum + 1 mg/L polimer bisa optimum, sedangkan 40 mg/L alum tidak memperbaiki kejernihan namun menambah sludge.
Padatan/“sludge carry‑over” di efluen: indikasi beban hidraulik berlebih atau kegagalan mekanis. Jika laju alir melebihi desain (waktu tinggal jatuh <~30–45 menit), flok yang bagus pun tersapu (lautanairindonesia.com). Kurangi alir untuk menambah retensi, cek distribusi inlet, atasi short‑circuiting dengan baffle/diffuser; desain inlet dan baffle yang benar dilaporkan meningkatkan efisiensi klarifier ~20–40% (porvoo.com.cn).
Akumulasi sludge berlebih: penyebab mencakup overdosis koagulan, lonjakan padatan hulu (hujan), atau ketidakseimbangan recycle (pada sistem lumpur aktif) (lautanairindonesia.com) (lautanairindonesia.com) (lautanairindonesia.com). Periksa mekanisme; scraper/pompa yang gagal membuat “sludge yang seharusnya terangkat justru menumpuk” (lautanairindonesia.com). Sesuaikan kapasitas buang sludge agar sejalan dengan yield yang diprediksi jar test.
Stabilitas flok dan shear: shear tinggi dari jet inlet atau adukan agresif memecah flok rapuh. Dekatkan posisi flocculator–clarifier untuk menghindari transisi mendadak, dan optimalkan jenis/dosis polimer melalui jar test saat terjadi perubahan kimia (sswm.info).
pH/alkalinitas tidak seimbang: konsumsi alum menurunkan pH; flok hidroksidanya mulai larut bila pH turun <~6 (watertechnologies.com). Jika optimum jar test di pH 6–7 tetapi air baku di pH 5 atau 8, lakukan pra‑penyesuaian dengan alkali/asam. Koagulan organik (mis. poliamina kationik) cenderung kurang sensitif terhadap pH.
Musiman & suhu: air dingin memperlambat pembentukan flok; musim hangat memicu alga yang mengganggu pengendapan. Beberapa plant menyiapkan dua resep jar test (“winter mix” dan “summer mix”); penyesuaian proaktif (mis. dosis lebih tinggi atau retensi lebih lama di musim dingin, lebih banyak flocculant di musim alga) dilaporkan meningkatkan kejernihan sepanjang tahun hingga ~30% (porvoo.com.cn) (porvoo.com.cn).
Baca juga: Sea Water Reverse Osmosis
Checklist penelusuran masalah
- Turbiditas efluen tinggi: ulangi jar test; sesuaikan dosis koagulan/polimer atau pH; optimalkan intensitas aduk (flocculation lebih lembut bila perlu) (sswm.info) (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- Sludge carry‑over: turunkan debit (naikkan retensi), perbaiki baffle/diffuser inlet; hindari overload pada launders permukaan.
- Penumpukan sludge: cek operasi scraper; pertimbangkan reduksi dosis koagulan; tambah frekuensi pembuangan sludge (lautanairindonesia.com) (lautanairindonesia.com).
- Short‑circuiting: inspeksi diffuser dan baffle; tambahkan/perbaiki baffle; untuk footprint kecil, modul pelat atau lamella membantu kapasitas.
- Variasi kualitas air baku: tingkatkan frekuensi jar test saat musim hujan; siapkan strategi kenaikan dosis saat spike kekeruhan datang.
Inti pesan dan rujukan
Optimasi berbasis jar test dan pemantauan plant mencegah sebagian besar masalah klarifier (sswm.info). Praktik ini secara konsisten menghemat 10–20% bahan kimia sambil memperbaiki kualitas efluen (porvoo.com.cn) (sswm.info). Ketika mutu air menyimpang dari spesifikasi (mis. target WHO/Indonesia <1 NTU), data historis jar test memandu koreksi kuantitatif—contoh, turbiditas merayap dari 1 ke 2 NTU sering pulih dengan menambah koagulan primer ~10% mengikuti slope jar test.
Rujukan: prosedur jar test dari SSWM dan NESC (sswm.info) (studylib.net); Water Technologies Handbook untuk kimia koagulan (watertechnologies.com) (watertechnologies.com); riset terapan Mazloomi et al. 2018 soal efisiensi PAC (pmc.ncbi.nlm.nih.gov); Hashimoto et al. 2019 tentang roughing filter (iwaponline.com). Rekomendasi sejalan dengan praktik PDAM/SNI yang menargetkan kejernihan ~1 NTU.
Sebagai catatan implementasi, portofolio kimia seperti PAC untuk koagulasi dan paket media filtrasi granular di atas memberi jalur praktis dari laboratorium ke plant, selaras dengan pendekatan “uji‑dulu‑baru‑dosis” yang dipandu jar test.
