Sekitar seperempat gas ikut minyak (associated gas) dunia masih dibuang sia‑sia, padahal teknologinya ada dan hitungan ekonominya makin masuk akal. Angkanya besar: 148–151 bcm gas dibakar pada 2023–2024 dan setara US$63 miliar energi hilang.
Industri: Oil_and_Gas | Proses: Production
Di banyak lapangan minyak, nyala api suar (flaring) masih jadi pemandangan rutin. Padahal, sekitar 75% gas ikut minyak (associated gas — gas alam yang ikut diproduksi bersama minyak) secara global sebenarnya sudah dimanfaatkan; sisanya, kira‑kira 25%, masih terbuang: pada 2019 sekitar ~150 bcm dibakar (flared) dan ~55 bcm bahkan dilepas langsung (vented) menurut IEA dan IEA. Ketika tak ada outlet yang produktif, IEA mencatat “associated gas… bisa berakhir dibakar atau (lebih buruk) di‑venting”.
Di lapangan yang punya jaringan pipa, flaring bisa ditekan drastis — data IEA dan pemantauan World Bank menunjukkan intensitas flaring di wilayah dengan infrastruktur pengumpulan gas jauh lebih rendah, bahkan “sepuluh kali lebih rendah” dibanding lapangan terpencil di Rusia.
Namun realitas global masih muram: pada 2023, flaring mencapai ~148 bcm (Reuters); pada 2024 melonjak ke ~151 bcm, level tertinggi dalam hampir dua dekade, meski produksi minyak hanya naik ~1% (World Bank).
Opsi pengelolaan gas ikut minyak
Spektrumnya jelas: (a) menangkap dan memonetisasi gas, atau (b) membuangnya (flaring/venting) atau menginjeksikannya kembali. Opsi dengan nilai tambah tertinggi adalah yang pertama.
Pengumpulan via pipa dan transportasi: solusi ideal adalah menghubungkan lapangan ke jaringan pipa atau fasilitas pemrosesan. Dengan infrastruktur yang memadai—seperti di US Gulf Coast atau Australia—flaring bisa dieliminasi. Bukti perbandingan antarnegara ditunjukkan IEA dan World Bank: negara dengan jaringan pengumpul gas membakar jauh lebih sedikit dibanding lapangan terpencil di Rusia atau Irak.
Re‑injeksi untuk tekanan reservoir (EOR — enhanced oil recovery): gas bisa diinjeksikan kembali untuk menjaga tekanan dan meningkatkan perolehan minyak. Praktik ini lazim di lapangan matang; misalnya Statoil (Equinor) di Laut Utara. Petrobras di Brasil bahkan menyatakan akan “mengurangi reinjeksi ketika memungkinkan” agar lebih banyak gas bisa dijual (Reuters).
Pembangkit listrik di lokasi: untuk lapangan terpencil, generator berbahan bakar gas—turbine atau reciprocating engine—bisa mengubah flare gas menjadi listrik. Pendekatan yang lebih bersih adalah memasang flare gas recovery unit (FGRU — kompresi gas suar untuk masuk ke generator atau sistem bahan bakar fasilitas). Pasar FGRU global tumbuh: dari ~US$1,3 miliar (2025) menjadi US$6,8 miliar pada 2033, CAGR 8,9% (Allied Market Research; Allied Market Research).
Pencairan atau konversi (LNG — liquefied natural gas, CNG — compressed natural gas, GTL — gas‑to‑liquids): tanpa pipa, operator bisa mengompresi atau mencairkan gas di lokasi. Nigeria, misalnya, melisensikan fasilitas floating LNG untuk menangkap gas dari lapangan yang biasa flaring (Reuters).
Venting dan flaring (pembuangan): opsi terakhir. Flaring menghasilkan CO₂, tetapi tetap lebih baik daripada venting karena metana ~25× lebih kuat sebagai gas rumah kaca. Banyak yurisdiksi melarang venting; flaring rutin dibatasi dan hanya flaring darurat yang jelas diizinkan. Inisiatif World Bank “Zero Routine Flaring by 2030” menargetkan akhir praktik ini, namun 2023 masih ~148 bcm (Reuters) dan 2024 ~151 bcm (World Bank).
Secara umum, memaksimalkan penangkapan dan pemanfaatan gas ikut minyak itu layak secara teknis dan sering ekonomis. Satu studi menyimpulkan pemakaian flare gas untuk listrik di lokasi “sering masuk akal secara ekonomi” dan konversi flare ke penggunaan produktif bisa memangkas emisi CO₂ ~90% dibanding terus membakar (ScienceDirect; ScienceDirect).
Baca juga: Pengolahan Air Secara Fisika
Dampak lingkungan dan pendorong ekonomi
Dari sisi iklim, 150–151 bcm/tahun gas yang dibakar setara kira‑kira 389 juta ton CO₂‑ek pada 2024—termasuk ~46 Mt dari pembakaran metana yang tidak sempurna (World Bank). IEA sebelumnya memperkirakan 150 bcm flaring pada 2019 ~300 Mt CO₂—setara total emisi tahunan Italia (IEA). Bila 55 bcm metana ter‑venting (atau lolos dari flare yang tidak optimal), tambahan ~1.180 Mt CO₂‑ek bisa tercipta (IEA). Rutinitas flaring juga melepas black carbon dan NOₓ yang memperburuk kualitas udara lokal.
Dari sisi ekonomi dan ketahanan energi, gas yang dibakar adalah uang yang hilang. World Bank memperkirakan nilai energi yang terbuang mencapai ~US$63 miliar pada 2024—kira‑kira setara konsumsi gas tahunan Afrika. Gas ini bisa memasok listrik/ panas bagi komunitas ketika lebih dari 1 miliar orang masih kekurangan daya andal (World Bank; World Bank).
Tekanan regulasi dan sosial meningkat. AS menetapkan pungutan metana US$900/ton (naik ke US$1.500/ton pada 2026) untuk emisi berlebih fasilitas migas (Reuters). Banyak negara dan perusahaan berkomitmen pada “Zero Routine Flaring by 2030”; para endorser ZRF menurunkan intensitas flaring ~12% sejak 2012, sementara non‑endorser justru naik ~25% (World Bank). Pledge global untuk memangkas metana 30% pada 2030 menambah urgensi (IEA).
Sanksi juga lebih nyata: Nigeria menerapkan penalti flaring yang tinggi (hingga puluhan dolar per Mcf) lewat Petroleum Act, dan per 1 Januari 2025, pelamar lisensi minyak harus membuktikan “emisi karbon rendah” selaras target net‑zero (Reuters). Di Alberta, Kanada, batas flaring 670 Mm³ dilanggar—~913 Mm³ pada 2024 (36% lebih tinggi)—dan provinsi kemudian menghapus batas itu pada 2025 (Reuters). Selain iklim, biaya kesehatan akibat polusi migas besar; satu studi di AS menaksir ~US$77 miliar/tahun (meski bukan hanya dari flaring) (Axios).
Baca juga:
Mengapa Sterilizer Horizontal & Kontrol Otomatis PLC/SCADA Jadi Pilihan Utama di Pabrik Kelapa Sawit
Tren dan regulasi di Indonesia
Indonesia menurunkan flaring signifikan: dari ~3,5 bcm (2012) menjadi ~1,7 bcm (2022), sementara produksi minyak hanya turun ~30% pada periode itu (World Bank — Flaring & Venting Regulations). Indonesia mengendorse ZRF pada 2017 dan memasukkan penurunan emisi (termasuk metana) dalam NDC 2022 dengan target 32% pemotongan tanpa syarat pada 2030 (World Bank — Flaring & Venting Regulations).
Kerangka aturan kian ketat. Peraturan Menteri ESDM 17/2021 mewajibkan kontraktor migas menyusun rencana pengelolaan flare gas dalam pengembangan lapangan dan memprioritaskan pemanfaatan atas pembakaran (World Bank — Article 2; World Bank — Article 3). Seluruh volume flaring harus diidentifikasi, diukur, dan dilaporkan (meter atau metode rekayasa) serta setiap flaring rutin memerlukan persetujuan, dengan batas rata‑rata 2 MMscf/hari per lapangan minyak (World Bank — Article 11). Pelanggaran bisa berujung peringatan hingga pencabutan izin atau suspensi eksekutif (World Bank — Article 19). Pemerintah juga memberi penghargaan tahunan bagi pengelolaan flare gas yang optimal (World Bank — Article 21).
Dari sisi operasi, SKK Migas mencatat sekitar 370 flare stack (pertengahan 2024) dengan ~207 MMSCFD (~5,9 Mm³/hari) dibakar; komposisi rata‑rata ~73% CH₄ dan ~7,3% CO₂ sebagai impuritas (Indonesia Business Post). Program konversi sedang berjalan—misalnya menangkap 32 MMSCFD fuel gas yang saat ini dipakai di kilang LNG Bontang dan mengalihkannya ke pipa atau mencairkannya sebagai LPG/LNG; operator juga mengeksplorasi generator on‑site dan tie‑in ke pipa (Indonesia Business Post). Intensitas flaring (volume per barel minyak) pun menurun pada 2012–2022 (World Bank — Flaring & Venting Regulations).
Baca juga:
Teknologi pemurnian gas dan spesifikasi penjualan
Sebelum dijual atau dipakai sebagai bahan bakar, gas harus memenuhi spesifikasi mutu. Impuritas utama: H₂S (hidrogen sulfida), CO₂ (karbon dioksida), dan air. Adakalanya ada hidrokarbon berat, merkuri, dan senyawa sulfur lain.
Penghilangan gas asam (gas sweetening): gas “sour” dengan H₂S/CO₂ diproses di menara absorber dengan amina berair (mis. MDEA, MEA, DEA — pelarut yang mengikat kimiawi H₂S/CO₂), lalu diregenerasi. Ini metode paling umum; “regenerative absorption into a liquid agent” mendominasi pasar (Gas Processing News). Kadar H₂S bisa ditekan ke <4 ppm (batas toksisitas/korosi pipa) dan CO₂ sering ke ~2–4% volume (Gas Processing News). Untuk beban CO₂ sangat tinggi, pelarut fisik (mis. Selexol) atau hibrida dipakai; teknologi emerging seperti membran atau ionic liquids masih belum luas di hulu. Pada skala kecil/tertentu, pendekatan scavenger juga dipakai; misalnya, formulasi oxygen/H₂S scavenger dapat mengikat H₂S tanpa unit amina penuh.
Dalam paket sweetening, pemilihan solvent menentukan performa. Sistem amina komersial seperti CO₂/H₂S removal amine solvent lazim dipakai pada absorber tinggi, sementara kualitas sirkulasi solvent dijaga dengan dosing kimia yang presisi menggunakan dosing pump untuk mengontrol pH dan korosi.
Recovery sulfur (Proses Claus): gas asam hasil regenerasi (kaya H₂S) umumnya masuk unit Claus untuk dikonversi menjadi sulfur elemental. “Modern Swiss-site plants” mampu mencapai >99% recovery; produk S₈ bisa dijual untuk industri sulfur/sulfuric acid.
Pengendalian hydrocarbon dew point: gas kaya C₃+ perlu fraksinasi. Unit suhu rendah atau lean‑oil absorption memisahkan NGL (etana, propana, butana) sebagai produk bernilai dan memastikan sales gas memenuhi batas dew point pipa.
Dehidrasi gas (penghilangan air): pada dasarnya semua gas produksi jenuh uap air dan harus dikeringkan untuk mencegah korosi/hidrat. Metode standar adalah dehidrasi glikol—gas dikontakkan dengan TEG (triethylene glycol), glikol basah diregenerasi dengan pemanasan—menurunkan kandungan air hingga <7 lb/MMscf. Untuk pengeringan ultra (umpan LNG, dew point <–80°C), digunakan menara adsorpsi molecular sieve (zeolit) dengan regenerasi periodik (SPE/OnePetro). Polishing partikulat sering ditambahkan memakai cartridge filter guna melindungi kompresor dan peralatan downstream; untuk aplikasi tekanan tinggi, housing filter baja industri menjaga keselamatan operasi.
Merkuri dan jejak lain: beberapa lapangan memiliki uap merkuri jejak yang bisa meracuni katalis. Media activated carbon atau adsorben khusus (mis. zinc sulfide) lazim dipakai bila merkuri terdeteksi; senyawa sulfur organik (RSH) dan partikulat lain ditangani dengan scrubber/filtrasi yang sesuai. Karena H₂S dan CO₂ bersifat korosif, program corrosion inhibitor di jaringan pipa/fasilitas umum menyertai pengolahan gas untuk mengendalikan laju korosi.
Desain tipikal pabrik gas sour mencakup satu atau lebih train amina (H₂S/CO₂), diikuti unit glikol (air), lalu heater dan demethanizer sesuai kebutuhan. Di beberapa lapangan maju, membran dipakai untuk pra‑removal CO₂ sebelum amina demi efisiensi energi. Regulator Indonesia juga menegaskan, jika fraksi “impure gas” >50%, studi teknis/ekonomi diperlukan untuk memutuskan dijual atau dibakar (World Bank — Article 3).
Baca juga:
Kondensat Sterilizer Sawit: Limbah Panas yang Bisa Diubah Jadi CPO dan Penghematan Energi
Kesimpulan operasional dan kebijakan
Dengan jaringan pipa, FGRU, opsi LNG/CNG/GTL, serta paket pemurnian (sweetening, dehidrasi, dew‑point control), mayoritas gas ikut minyak dapat ditangkap dan dipasarkan secara aman—membuat flaring benar‑benar menjadi jalan terakhir. Kombinasi dorongan lingkungan, kehilangan nilai ekonomi, dan regulasi baru—dari ZRF hingga pungutan metana—mempercepat pergeseran ini (Reuters; World Bank). Ketika flare padam, nilai tambah menyala.