Air blowdown cooling tower PLTU membawa zinc dan fosfat dari program inhibitor, sementara aturan Indonesia hanya membatasi temperatur dan klorin bebas. Desain pengolahan yang tepat—dari penyesuaian pH, presipitasi kimia, hingga opsi zero liquid discharge—menentukan kepatuhan dan efisiensi air.
Industri: Power_Generation_(HRSG) | Proses: Cooling_System
Cooling tower blowdown (air buangan yang disingkirkan dari menara pendingin untuk membatasi penumpukan garam) adalah paradoks: volumenya tidak besar, namun muatannya bisa merepotkan. Secara tipikal TDS (total dissolved solids, padatan terlarut total) blowdown relatif rendah—sering <10.000 mg/L—didominasi NaCl/Na₂SO₄, dengan Ca²⁺ dan Mg²⁺ lebih kecil [Power Mag]. Namun program corrosion inhibitor lazim menambah ~5–15 mg/L fosfat (PO₄³⁻) dan 0,5–2,5 mg/L zinc; alhasil, blowdown kerap mengandung beberapa mg/L PO₄ dan ~1 mg/L Zn—level yang melampaui banyak baku mutu ketat [ChemEng] [ChemEng].
Di Indonesia, Permen LH 8/2009 untuk air blowdown pendingin hanya membatasi temperatur ≤40 °C dan klorin bebas ≤0,5 mg/L—tidak ada limit Zn atau PO₄—sebuah celah yang disorot analis lingkungan [Permen LH 8/2009] [Mongabay Indonesia]. Sebaliknya, banyak izin internasional makin ketat: proposal NPDES di AS membatasi total zinc 1,0 ppm dan Cr 0,2 ppm; beberapa negara bagian praktis melarang fosfor demi menekan bloom alga [POWER Engineering] [WaterTech] [POWER Engineering]. Praktiknya, desain perlu mengasumsikan penghilangan Zn dan PO₄ (kadang Cu, Fe) hingga level sangat rendah—misalnya <0,1 mg/L P—untuk perairan sensitif.
Profil kimia blowdown dan konteks regulasi
Komposisi blowdown dipengaruhi evaporasi: semakin tinggi cycles of concentration/COC (perbandingan konsentrasi garam di cooling tower terhadap air makeup), semakin tinggi konsentrasinya. Dominasi NaCl/Na₂SO₄ membuat banyak garam mudah dikristalkan melalui evaporasi termal [Power Mag]. Dosis inhibitor yang lazim—~5–15 mg/L PO₄ dan 0,5–2,5 mg/L Zn—memperbesar beban nutrien/metal ke efluen [ChemEng]. Ini menjelaskan mengapa desain konservatif menargetkan PO₄ dan Zn nyaris nol di keluaran [WaterTech].
Baca juga: Pengolahan Limbah Secara Kimia
Rangkaian pengolahan inti bertahap
Langkah awal adalah equalization tank (penyangga debit/kimia) dan penetralan pH. Jika blowdown terlalu basa, ditambahkan asam encer—umumnya H₂SO₄—untuk mendekati netral (pH ≃ 7); bila terlalu asam, dinaikkan dengan NaOH atau kapur. Kontrol pH real-time menjaga efluen di kisaran 6–9, rentang yang lazim pada banyak ketentuan efluen Indonesia meski tidak eksplisit untuk blowdown pendingin. Dosis bahan cair presisi di titik ini lazim memakai pompa kimia akurat seperti dosing pump.
Berikutnya presipitasi/koagulasi kimia untuk menghilangkan fosfat dan logam. Untuk fosfat, koagulan besi atau aluminium (mis. ferric chloride/alum) membentuk padatan besi‑fosfat; praktik industri menunjukkan >90% penghilangan PO₄ dengan dosis tepat [WaterTech]. Pada kasus program dengan 5–15 mg/L ortofosfat, efluen dapat ditekan jauh di bawah 0,1 mg/L pasca koagulasi [WaterTech]. Dosis koagulan terukur dapat ditopang solusi coagulants.
Untuk logam, presipitasi hidroksida pada pH ~9–10 (dengan kapur/kaustik) menurunkan Zn²⁺/Cu²⁺/Fe³⁺ secara signifikan. Penerapan yang baik menghilangkan >95% Zn, dengan sisa <0,1 mg/L—cukup untuk limit lazim [POWER Engineering] [WaterTech]. Untuk target ultra‑rendah, penambahan sulfida (mis. Na₂S) kadang dipakai membentuk sulfida logam tak larut, meski menambah kompleksitas [WaterTech]. Efisiensi flok sering didorong polimer; opsi flocculants membantu pembentukan flok cepat dan stabil.
Padatan yang terbentuk disisihkan via sedimentasi—umumnya klarifikasi kompak seperti lamella settler—lalu filtrasi. Tahap filtrasi pasir media ganda cocok untuk menurunkan TSS; media sand silica lazim dipakai sebagai langkah polishing. Untuk polishing akhir dengan target TSS sangat rendah, operator kerap menambah cartridge filter.
Efluen pasca filtrasi idealnya TSS <10 mg/L, lalu pH di‑adjust sebagai polishing akhir. Pengalaman lapangan menunjukkan skema presipitasi yang dirancang baik rutin mencapai >90% penghilangan Zn dan PO₄. Contohnya, menghilangkan 2 mg/L Zn (hidroksida) dan 10 mg/L PO₄ (FeCl₃) menghasilkan kadar akhir <0,1 mg/L untuk masing‑masing parameter. Verifikasi dilakukan dengan analisis ICP (inductively coupled plasma, metode analisis logam) dan uji kolorimetri. Dalam konteks Indonesia—meski tanpa limit spesifik Zn/P—praktik ini melindungi perairan sensitif dari eutrofikasi/toksisitas [ChemEng] [WaterTech].
Parameter desain dan target kinerja
COC memengaruhi debit blowdown dan konsentrasi pengotor. Dengan makeup TDS 400 mg/L dan limit buang 1.000 mg/L, COC ≈ 3 (memberi ~67% blowdown sebagai fraksi aliran) [WaterTech]. Dalam desain yang dikutip, blowdown ≈500 GPM pada 8 COC vs 200 GPM pada 3 COC [WaterTech]. Ukuran unit pengolahan harus mengikuti angka‑angka ini.
Target kinerja konservatif: Zn <1,0 mg/L, PO₄ <0,5 mg/L (atau lebih rendah), TSS <3–5 mg/L, pH 6–9. Kebutuhan kimia tipikal: 10–30 mg/L koagulan dan 0,5–2 mg/L polimer (ditetapkan via jar test). Hasil operasi yang diharapkan: >95% penghilangan Zn dan >99% penghilangan PO₄, sehingga feed pH 10 berakhir di bawah 0,1 mg/L Zn dan <0,1 mg/L PO₄.
Penanganan dan pembuangan lumpur
Lumpur hasil klarifikasi berisi (hidr)oksida logam dan senyawa fosfat. Mengacu PP63/2019, material ini bisa tergolong B3 bila kandungan logam melewati ambang. Dewatering seperti filter press umum digunakan. Dalam satu desain modern, kristalizer menghasilkan pellet >95% padatan kering—praktis bebas air—sehingga mudah ditimbun; capaian kekeringan >90% ideal untuk meminimalkan volume pembuangan [Water Technology] [Water Technology].
Baca juga:
Penerapan Sistem Biofilter dalam Pengolahan Limbah Air
Opsi ZLD untuk lokasi sangat kering
Pada lokasi air sangat langka, pendekatan zero liquid discharge/ZLD (nyaris tanpa pembuangan cair) patut ditimbang. Skema tipikal menggabungkan pretreatment lanjutan, membran, dan evaporasi/kristalisasi. Salah satu skema (gaya HERO/Opus) memakai ultrafiltration/UF (mengeliminasi padatan polimer), dechlorination (bisulfit), softening (ion exchange untuk menurunkan Ca/Mg), elevasi pH ≈10 (menjaga silika tetap larut), lalu RO dua tahap [WaterTech]. Pretreatment membran ini sejalan dengan sistem ultrafiltration sebagai prapengolahan ke RO.
Di tahap softening, unit softener atau penukar ion relevan untuk mengupas Ca/Mg sebelum RO. Untuk melindungi membran, residu klorin perlu dinetralisir—fungsi yang ditangani agen dechlorination. Tahap RO dapat menggunakan paket brackish-water RO guna memulihkan air dari blowdown berkadar garam sedang, sebagai bagian dari arsitektur membrane systems industri.
Skema ini dapat memulihkan ~90% air blowdown; brine RO (~10% volume awal) menuju evaporator/kristalizer termal. Evaporator MVR (mechanical vapor recompression) atau falling‑film kemudian memekatkan brine hingga padat. Uji percontohan menunjukkan pemulihan air >90% dari blowdown [WaterTech]. Pada satu pabrik CII di Chile (lokasi kekeringan), kombinasi RO lanjutan + fluidized‑bed precipitator mencapai 96% pemulihan blowdown; padatan mengkristal kontinu menjadi pellet >95% padatan [Water Technology] [Water Technology]. Pada kasus ini, fosfat dan silika disingkirkan dini, memungkinkan batas siklus yang sangat tinggi [Water Technology].
Dampak air, biaya, dan energi ZLD
Manfaat terhadap intake air baku ternyata moderat. Pemodelan menunjukkan ZLD hanya mengurangi pemakaian air tawar ~18–20% dibanding cooling tower standar [ACS ES&T Eng.] [NS Energy]. Satu analisis memproyeksikan pabrik modern menggunakan ~590 m³/jam air baku dan membuang 124 m³/jam (21% loss). Dengan ZLD, limbah bisa ditekan ke ~0,1% dari intake, tetapi penghematan intake bersih hanya ~20%—bahkan “ZLD sempurna” hanya memulihkan 21% yang semula dibuang, sehingga konsumsi total ~79% baseline [NS Energy].
Biaya naik signifikan. Studi ACS menemukan penerapan ZLD (RO pemulihan tinggi + kristalisasi) kira‑kira menggandakan levelized water cost; penalti energi terasa: <0,1% dari output untuk ZLD berbasis RO saja, ≈0,8% jika memakai brine concentrator [ACS ES&T Eng.]. Kompleksitas otomasi meningkat karena ZLD menuntut aliran/kimia stabil, dan konsentrat residu harus ditangani meski pemulihan 90–99%: masih tersisa brine ~1–5% inflow. Opsi termasuk kristalisator zero‑discharge (menghasilkan padatan) atau kolam penguapan khusus bila lahan/izin memungkinkan [WaterTech]. Deep well injection jarang diizinkan; pengangkutan off‑site dimungkinkan namun mahal [WaterTech].
Dalam praktik, ZLD paling masuk akal di kawasan sangat kering atau lokasi yang melarang pembuangan cair; permeat RO berkualitas tinggi dari blowdown dapat dipakai ulang sebagai makeup. Namun beberapa studi mengingatkan opsi lain—seperti dry‑cooling atau air‑cooled condensers—bisa menurunkan hampir 100% kehilangan pendinginan, meski ada penalti efisiensi dan modal [NS Energy]. Jika ZLD penuh ditempuh, pilot plant direkomendasikan: misalnya RO konvensional untuk ~80–90% pemulihan, dilanjut evaporator/kristalizer untuk konsentrat. Desain lanjutan mengintegrasikan salt precipitation clarifier sebelum RO untuk melepas silika/kalsium dan memungkinkan >96% pemulihan [Water Technology] [Water Technology].
Tren sistem terpadu dan studi kasus
Industri mulai mengadopsi partial ZLD di lokasi. Sejumlah vendor menawarkan sistem terintegrasi (mis. pola HERO atau Opus) untuk blowdown PLTU: UF → softening → kontrol pH → RO pemulihan tinggi → evaporator/kristalizer. Paket semacam ini telah menurunkan volume buang >90% di praktik. Satu demonstrasi memulihkan ~96–97% air—jauh di atas 50–60% pemulihan RO standar tanpa presipitasi garam [Water Technology]. Sistem‑sistem ini juga menghasilkan limbah padat kering yang mudah ditangani (pellet >95% padatan), menegaskan bahwa ZLD yang dirancang baik mengubah hampir seluruh blowdown menjadi air yang dapat digunakan kembali dan “brine padat”—namun dengan kompleksitas dan biaya tinggi [ACS ES&T Eng.] [Water Technology].
baca juga:
Pengertian dan Pengaruh TDS dan TSS Terhadap Kualitas Air
Penutup desain untuk PLTU HRSG
Ringkasnya, pengolahan blowdown cooling water PLTU HRSG yang tangguh memadukan: penyangga dan penyesuaian pH; presipitasi/koagulasi fosfat (mis. FeCl₃/alum) dan logam (presipitasi hidroksida pada pH tinggi) [WaterTech] [POWER Engineering]. Efluen akhir sebaiknya memenuhi limit paling ketat yang berlaku (mis. Zn ≤1,0 mg/L, PO₄ mendekati nol)—bahkan jika hukum lokal belum mensyaratkan itu—demi proteksi perairan sensitif [WaterTech] [POWER Engineering]. Untuk lokasi kering atau tunduk aturan masa depan, tata letak berbasis ZLD (UF + RO dua tahap + evaporasi/kristalisasi) bisa menekan buangan hingga pemulihan ~95–96% [Water Technology] [ACS ES&T Eng.]. Pilihan desain menyeimbangkan capex/opex dan ketersediaan air: studi berbasis data menunjukkan ZLD kira‑kira menggandakan biaya pengolahan air sambil menghemat ~20% intake, sehingga di Indonesia tropis ZLD mungkin hanya diadopsi jika diwajibkan atau harga air memaksa; di wilayah kering lain, opsi ini bisa terjustifikasi [ACS ES&T Eng.] [NS Energy]. Semua keputusan perlu dituntun oleh data spesifik lokasi (kimia blowdown, ketersediaan air, standar buang) dan uji percontohan/garansi vendor dengan statistik kinerja yang terbukti.